A s s a l a m u ' a l a y k u m . . . .

ahlan wa sahlan
mohon di koreksi bila ada yang salah
mudah2n bermanfa'at

Kamis, 22 Januari 2015

KONSEP DASAR DIENUL ISLAM ( Sebagai sebuah Jama'ah / Organisasi ) 2

Harap dicatat bahwa Surat Al-Hujurãt (‘kamar-kamar’) adalah surat Madaniah; sebuah surat yang mengisyaratkan bahwa wilayah (negara) Madinah – ibarat rumah – dibagi menjadi sejumlah ‘kamar’, yakni lingkungan internal khusus, yang secara ‘alami’ terbentuk mengikuti ke-aneka-ragaman tradisi masyarakat, dan keberadaannya disahkan Rasulullah melalui Piagam Madinah. Secara garis besar, Madinah terbagi menjadi tiga ‘kamar’, yang masing-masing ditempati oleh (1) kaum Muhajirin dan Anshar, (2) kaum Musyrik, dan (3) kaum Yahudi. Begitulah keadaan de facto masyarakat Madinah, yang selanjutnya – de jure – keadaan mereka bahkan diperinci dan disahkan secara hukum melalui Piagam Madinah, yang membagi ‘kamar-kamar’ itu menjadi bagian-bagian yang lebih kecil lagi berdasar suku-suku yang menjadi warga negara.
Dalam konteks Piagam Madinah, kaum Muhajirin (yang di dalamnya ada Rasulullah) dan Anshar adalah para mu’min. Selainnya, yakni kaum Musyrik dan Yahudi, adalah para muslim, dalam arti “orang-orang yang menyatakan kepatuhan terhadap hukum (sistem) yang berlaku di Madinah, khususnya yang disahkan melalui Piagam Madinah”.
Kedua ayat di atas, agaknya, mengajukan suatu kasus ketika Rasulullah memimpin penaklukan Makkah (Futuh Makkah) pada tahun ke-8 Hijrah. Pada saat itulah warga Makkah, yang sebelumnya merupakan musuh yang sangat keras bagi Rasulullah, mengakui kekalahan. Pengakuan itulah, agaknya, yang mereka ungkapkan dengan kata ãmannã. Artinya: mulai saat ini kami beriman. Namun, pengakuan itu ditentang dan dikoreksi oleh Allah, karena mereka menggunakan suatu ungkapan istilahi (terminologis) yang salah.
Kemudian, melalui ayat 15, Allah menegaskan bahwa yang dimaksud dengan iman yang benar adalah masuknya ajaran Allah – yang disampaikan dan dicontohkan rasulnya – ke dalam jiwa (pikiran dan perasaan) manusia, sehingga mendorongnya untuk berjuang secara habis-habisan (total) untuk menegakkan ajaran Allah. Masuknya ajaran Allah (Al-Qurãn) tentu harus melalui proses belajar, yakni lewat pelaksanaan perintah rattil dan shalat malam, seperti dirumuskan dalam surat Al-Muzzammil; tidak mungkin serta-merta masuk melalui sebuah pengakuan.
Dalam Hadis Jibril bahkan ditegaskan bahwa ajaran Allah itu, harus menjelma menjadi sebuah “teori nilai”, yang di situ disebut dengan istilah al-qadru.
Memang sangat memprihatinkan ketika kita mendengar dan membaca pemahaman para pakar tentang bagian dari Hadis Jibril itu, yang selama berabad-abad telah disulap menjadi Rukun Iman, dan melahirkan ilmu tauhid. Keterangan Nabi tentang al-ïmãn yang sebenarnya tak terpisahkan dari al-islãm, yang dipaparkan dalam konteks Dienul-Islam sebagai sebuah organisasi, disulap oleh mereka menjadi enam obyek kepercayaan.
Padahal, Nabi sendiri, ketika bicara tentang iman, tidak pernah membahas tentang obyek-obyek kepercayaan, tapi tentang apa yang masuk ke dalam kalbu, yang selanjutnya mempengaruhi ucapan dan perbuatan, bahkan – lebih jauh lagi – membentuk kepribadian atau akhlak (عقد بالقلب وإقرار باللسان وعمل بالأركان).. Lagi pula, sungguh tidak realistis bila bagian Hadis Jibril yang membahas iman itu dipahami sebagai pembagian kepercayaan ke dalam obyek-obyek tertentu, yang bahkan jumlahnya dibatasi hanya sebanyak enam obyek. Soalnya, kepercayaan tidak bisa dibatasi. Bahkan kepercayaan terhadap Allah sebagai pencipta saja sudah membawa dampak lanjutan berupa kepercayaan terhadap segala sesuatu yang diciptakannya, yang jumlahnya tak terhitung. Jadi, konsep tentang Rukun Iman itu sebenarnya merupakan sebuah pemasungan terhadap kemampuan akal (logika) manusia untuk mempercayai apa saja yang ‘mampir’ ke dalam nalarnya. Dalam sebuah hadis Muslim bahkan ditegaskan bahwa iman itu terdiri dari 61 atau 71 cabang. Selain itu, tentu saja kita juga juga menangkap sebuah gejala kebodohan ketika sebuah teks dipahami secara lepas konteks.
Hadis Jibril berbicara tentang Dienul-Islam dalam konteks sebuah ‘bangunan’, alias organisasi. Di sini, faktor manusia adalah yang terpenting; dan yang lebih penting lagi adalah faktor mentalnya, khususnya faktor sikap terhadap organisasi. Dalam pembahasan tentang al-islãm, terkesan bahwa untuk membangun Dinul-Islam menjadi sebuah organisasi, pertama, harus ada pendaftaran anggota (rekrutmen; recruitment). Itulah yang terkesan dari syahadah/bay’ah. Setelah itu, sang anggota harus mendalami cita-cita dan haluan organisasi (shalat), harus ikut mendanai sesuai kemampuan (zakat), harus mebentuk ketahanan fisik dan metal (shaum ramadhan), dan harus berwawasan dan membina hubungan internasional (haji).
Selanjutnya, pembahasan tentang al-ïmãn terpusat pada cikal-bakal terbentuk-nya organisasi itu, yaitu ajaran Allah, yang berpadu dengan kemauan manusia untuk menjadikannya sebagai pedoman.
Perhatikan kembali teksnya:
قال, “فأخبرنى عن الإيمان.” قال, “أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشرّه.”
Dia (Jibril) berkata, “Terangkan padaku tentang al-ïmمn”. Nabi menjawab, “(al-ïmمn) adalah anda meyakini (ajaran) Allah, yang diturunkan melalui malaikatnya, yang diterima para rasulnya, sehingga (anda) sampai pada suatu tahap akhir, yakni anda hidup berdasar ketentuan (al-qadru) baik dan buruk menurutnya (Allah).
Sekali lagi, ini bukan pembahasan tentang obyek-obyek kepercayaan, tapi tentang dasar dari Dienul-Islam sebagai organisasi. Dasarnya adalah sebuah konsep, yakni ajaran Allah, yang dari masa ke masa diturunkan Allah melalui malaikatNya, dan diterima serta diajarkan melalui rasul-rasulnya, secara bertahap. Tahap akhir (puncak) dari proses belajar itu adalah menjadikannya sebagai sebuah “teori nilai” (al-qadru), untuk membedakan baik dan buruk segala sesuatu berdasar konsep itu. Dalam konteks pribadi, teori nilai itu pada awalnya menjadi sebuah “pengetahuan teoritis”, yang selanjutnya menjelma menjadi “pandangan hidup”. Dalam konteks individu sebagai bagian dari organisasi, ia akan menjelma menjadi pribadi-pribadi yang beramal shalih, yaitu berbuat tepat, sesuai kemampuan masing-masing, untuk berperan sebaik-baiknya demi tercapainya tujuan organisasi, yaitu menjadikan ajaran Allah sebagai sebuah taqdïr (hukum) yang berlaku dalam suatu lingkungan masya-rakat (negara dsb).
Taqdïr adalah kata lain dari qadr, yang pengertian harfiahnya antara lain ukuran, batasan, timbangan, kententuan, dll. Tapi, dalam bentuk ma’rifah (definitif), yaitu at-taqdïru/al-qadru, keduanya adalah sebutan lain bagi Al-Qurمn. Uraian Nabi tentang al-ïmمn, dalam konteks Hadis Jibril, yang dihubungkan dengan surat Al-Hujurمt ayat 14-15 dan beberapa hadis lain, menegaskan bahwa iman itu baru terbentuk bila ajaran Allah (Al-Qurمn) sudah masuk ke dalam diri seseorang, sehingga akhirnya menjadi alat ukur baginya, untuk menentukan baik-buruk atau benar-salahnya segala sesuatu. Dengan kata lain, iman itu baru terbentuk dalam diri seseorang bila ajaran Allah sudah menjelma menjadi suatu “kesadaran hukum” (legal aware).
Dengan demikian, nampak jelas ngawur-nya para pakar yang membawa istilah taqdïr ke dalam konteks teologis ilmu tauhid, sehingga mereka sendiri mengaku bahwa pembicaraan tentang taqdïr itu tidak pernah selesai. Bagaimana bisa selesai bila pembicaraan tentang taqdïr justru difokuskan pada kehendak pribadi Allah, yang tentu menjadi teka-teki mahabesar? Masalah taqdïr baru akan selesai bila mereka mau menyadari bahwa yang dimaksud dengan kehendak Allah itu tidak lain adalah segala yang dinyatakanNya sendiri melalui wahyu, yang sekarang telah menjelma menjadi sebuah kitab bernama Al-Qurمn!
Ihsan sebagai sebagai teori amal shalih
Pertanyaan berikutnya dari Jibril adalah tentang al-ihsمn; dijawab oleh Nabi dengan kalimat:
أن تعبد الله كأنّك تراه وإن لم تكن تراه فإنّه يراك
Harfiah: (Yaitu) bahwa anda mengabdi Allah seolah-oleh melihatNya. Dan walaupun anda tidak melihatnya, sebenarnya Dia melihat anda.
Biasanya orang mengaitkan perkataan Nabi ini dengan shalat ritual, sehingga terjemahannya adalah: (Ihsan adalah) bahwasanya engkau menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya, dan bila tidak bisa melihatnya (dan memang tidak akan bisa) maka (ingatlah) bahwa Dia melihatmu.
Kekeliruan mendasar dari terjemahan itu adalah kata ta’buda diartikan secara sangat sempit sebagai engkau menyembah, sesuai dengan pemahaman bahwa shalat sama dengan sembahyang. Padahal, terjemahan yang benar adalah anda mengabdi. Terjemahan ini bukan hanya benar secara harfiah, tapi juga sesuai dengan gagasan bahwa manusia diciptakan untuk menjadi abdi (hamba) Allah.
Dalam pengertian harfiah, al-ihsمn adalah kebaikan. Tapi, dalam pengertian istilahi, tentu ada perbedaan. Melalui sebuah hadis lain (riwayat Muslim dll), Nabi menggambarkan pengertian al-ihsمn dalam bahasa yang gamblang:
إنّ الله كَتب الإحسانَ على كلّ شيئ. فإذا قتلتم فأحسِنوا القِتلَةَ وإذا ذبحْتم فأحسِنوا الذَّبْحَ ولْيُحِدَّ أحدُكم شَفْرتَه فلْيُرِحْ ذبِيحَتَه.
Sebenarnya Allah menetapkan al-ihsمn atas segala sesuatu. Jika kalian membunuh, lakukanlah pembunuhan itu secara ihsمn; yaitu bila kalian menyembelih (hewan), lakukanlah penyembelihan itu secara ihsمn; yakni hendaklah pelaku penyembelihan itu menajamkan parangnya, sehingga dengan demikian hewan sembelihannya jadi cepat mati.
Dalam konteks Hadis Jibril, keterangan Nabi tentang al-ihsمn adalah kelanjutan (sambungan) dari keterangan tentang al-islمm dan al-ïmمn. Bila dalam keterangan yang pertama Nabi menggambarkan tentang manusia sebagai faktor terbentuknya al-islمm sebagai organisasi, dan yang kedua menegaskan tentang konsep yang menjadi dasar bagi pembentukannya, maka keterangan tentang al-ihsمn ini, yang disampaikan dalam bahasa kiasan, agaknya menegaskan bahwa sang manusia yang tergabung dalam organisasi itu harus mengabdi dengan cara sedemikian rupa, yang diungkapkan dalam bahasa kiasan: (1) membayangkan seolah-olah melihat Allah, (2) menyadari bahwa ia dilihat Allah.
Namun, ada satu hal lain yang juga perlu diperhatikan. Nabi, dalam sebuah hadis lain, menyuruh umatnya memikirkan ciptaan Allah, tapi melarang berpikir tentang zat (oknum; pribadi) Allah. Tapi, dalam penjelasan tentang al-ihsمn itu, kenapa Nabi malah seperti menyuruh untuk membayangkan (memikirkan) zat Allah? Kenapa ada sabda-sabda Nabi yang (seperti) saling bertentangan (kontradiktikf)?
Ada jawaban sederhana: sabda yang satu berupa perintah dan larangan; yang lainnya berbentuk perumpamaan. Seolah-olah melihat Allah tentu tidak sama dengan melihat Allah. Tapi, dengan (berlagak) seolah-olah melihat Allah itu, bukankah berarti memikirkan (membayangkan) juga?
maka hadis tersebut (تفكروا فى الخلق ولا تتفكروا فى ذاته) sebagai landasan untuk melahirkan teori, yakni bahwa setiap penyebutan kata Allah (termasuk sebutan lain baginya, seperti rabb dll) janganlah secara langsung dihubungkan kepada zatnya tapi hendaknya dihubungkan kepada ilmu atau ajaranNya (Al-Qurمn). Tegasnya, bagi Isa Bugis sabda-sabda Nabi di atas tidak saling bertentangan. Namun, sebagai dampak lanjutannya, karena teori itu menjadi bagian dari metode ilmu yang dikembangkannya, maka lahirlah suatu bentuk penerjemahan yang sama sekali berbeda. Kata innallaha (إنّ الله), misalnya, tidak diterjemahkan menjadi sesungguhnya Allah, tapi: sesungguhnya Allah dengan ajarannya, yakni Al-Qurمn …
Bila, di satu sisi, Nabi menggambarkan iman dengan kata-kata an tu’mina billah (أن تؤمن بالله), misalnya, maka di sisi lain Allah juga mengabarkan: âmanar-rasulu bimم uzila ilaihi min rabbihi wal-mu’minun (آمن السول بما إليه من ربه والمؤمنون). “Sang Rasul (Muham-mad) beriman dengan apa (ajaran) yang diturunkan rabbnya kepadanya (yakni Al-Qurân). Begitu juga halnya para mu’min (pengikutnya)”.
Alhasil, keterangan Nabi tentang al-ihsمn itu, tidak dipahami  peristiwa seorang hamba yang menyembah Allah, tapi menjalankan (memfungsikan) ajaran Allah. Untuk itu, ada dua pilihan sikap: yang pertama, memancarkan ajaran Allah dari dalam dirinya, seolah-olah ilmu (ajaran) Allah itu merupakan miliknya; dan yang kedua, membentuk kesadaran bahwa dirinya tidak bisa lepas dari ilmu Allah itu.
bahwa al-ihsمn adalah amal shalih, alias berbuat tepat seperti yang dikehendaki Allah. Ini tentu sangat cocok dengan gambaran Nabi di atas, yang diambil dari konteks penyembelihan hewan itu.
Namun, harus diakui bahwa Nabi sendiri dalam hal ini berbicara dengan bahasa filosofis pula, sehingga menjadi agak sulit untuk dipahami orang awam. Kenyataannya, Hadis Jibril itu memang mengandung pemikiran (konsep) tingkat tinggi. Bila diingat nara sumbernya, Umar bin Khatthab, agaknya menjadi isyarat pula bahwa pertemuan antara Nabi dan Jibril itu hanya terjadi di hadapan para sahabat Nabi sekelas Umar (Abu Bakar, Utsman, Ali, Abu Hurairah, dsb). Tepatnya, peristiwa itu terjadi di hadapan tokoh-tokoh yang (memang) pada akhirnya menempati posisi tertinggi dalam struktur pemerintahan Islam (kecuali Abu Hurairah, yang ‘hanya’ menjadi sahabat yang banyak menyampaikan hadis).
Secara keseluruhan, boleh dikatakan Hadis Jibril memang bicara tentang fungsi-fungsi manajemen. Jadi, jelas keliru bila salah satu fungsi manajemen dianggap sebagai manajemen itu sendiri.
Tentu saja konsep manajemen di sini tidak sama persis dengan konsep manajemen perusahaan, yang berasal dari Barat. Cuma, boleh juga kita curiga kalau-kalau mereka mengajukan teori manajemen itu justru setelah mempelajari Hadis Jibril. Bila benar, bukan mereka yang salah. Umat Islamlah yang bodoh tentang agama mereka sendiri.
Keterangan tentang al-islمm mempunyai kemiripan dengan prinsip organizing (pengorganisasian), sedangkan keterangan tentang al-ïmمn mirip dengan prinsip planning (perencanaan); dan al-ihsمn agaknya ‘menyenggol’ secara borongan prinsip actuating (pelaksanaan), controling (pengawasan) dan staffing (penempatan SDM), yang keseluruhannya memang harus dilakukan dengan penerapan prinsip al-ihsمn itu.
Berbeda dengan konsep manajemen (kapitalis) Barat yang cenderung menempatkan manusia (bawahan) sebagai sapi perahan, konsep manajemen yang diajukan Hadis Jibril justru menonjolkan manusia secara keseluruhan sebagai faktor penentu. Penyebutan tentang manusia sebagai pelaku pengabdian, yang sudah dilakukan sejak awal, menegaskan bahwa faktor staff (SDM) adalah yang terpenting. Penyebutan tentang cara atau sikap si staff dalam mengabdi, yang terbagi menjadi dua, satu sisi menjadi isyarat tentang adanya perbedaan kemampuan mereka; sisi lainnya menegaskan agar setiap orang memilih posisi masing-masing dengan kesadaran penuh tentang kemampuan dan tanggung-jawab mereka.
Keterangan Nabi tentang al-ihsمn pada hakikatnya bisa kita urai demikian:
Kalimat an ta’budallaha ka-annaka tarمhu adalah suatu ungkapan untuk mengambarkan segolongan manusia dengan kualitas (spesifikasi) tertentu. Bila diperhatikan, kata kerja tarم sendiri mengandung suatu isyarat penting. Melalui kajian sharaf, kita ketahui bahwa kata kerja ini mempunyai empat bentuk masdar, yaitu ra’yan, ru’yatan, râ-atan, ri’yânan (رأيا و رؤية و راءة ورئيانا ). Pengertian harfiahnya adalah melihat dengan mata atau dengan akal (intelektual) [نظر بلعين أو بالعقل] Kedua-duanya, baik melihat dengan mata atau dengan akal (intelektual), tidak bisa dilakukan bila yang menjadi obyeknya adalah zat Allah. Itu alasan pertama. Alasan berikutnya, menjadikan Allah sebagai obyek adalah suatu kesalahan metodis (ilmiah).
Bila kita ambil salah satu masdar di atas, misalnya ru’yatan (bisa dibaca ru’yah), lalu kita hubungkan dengan hadis Muslim yang bercerita tentang penerimaan wahyu pertama, di situ kita temukan rangkaian kata: كان أوّل مابُدئَ به الرسول الله ص م من الوحي الرؤيا الصاديقةَ (wahyu pertama yang diungkapkan kepada Rasulullah adalah ar-ru’yash-shadiqah). Dalam pengertian harfiah, ar-ru’yash-shadiqah adalah penglihatan yang benar. Tapi, apa yang dilihat? Teks hadis mengatakan bahwa “obyek” yang dilihat itu ‘tampak’ seperti cahaya matahari di waktu subuh (مثل فلق الصبح).
Seperti matahari subuh! Tapi apakah gerangan obyek yang muncul itu? Wahyu! Jadi, wahyu – atau tepatnya isyarat bakal turunnya wahyu – mucul dalam rupa seperti matahari subuh alias fajar. Maka jangan heran bila di dalam Al-Qurمn ada surat Al-Fajr, dan coba juga perhatikan frasa mathla’i-fajri dalam surat Al-Qadr.
Bila cahaya fajar bisa dilihat dengan mata, lalu dengan apa ‘melihat’ wahyu? Tentu dengan daya intelektual; sehingga melihat di sini berarti “mempersepsi”, yaitu menyadari kehadiran “sesuatu”. Bila sesuatunya adalah benda, maka ia tampak melalui mata. Bila bukan benda (ide dsb), ia ‘tampak’ melalui otak.
Itulah pengertian kata tarم dalam keterangan Nabi tentang al-ihsân. Melihat di sini bukan melihat dengan mata, dengan zat Allah sebagai obyeknya; tapi ‘melihat’ dengan kemampuan intelektual (daya persepsi). Lantas obyeknya apa? Katakanlah, pada tahap belajar, yang menjadi ‘obyek’ (kajian) adalah ajaran Allah (Al-Qurân).
Tapi uraian tentang al-ihsân itu diberikan dalam konteks bekerja, bukan belajar. Dalam konteks kerja, yang menjadi obyek adalah segala permasalahan yang dihadapi. Sedangkan ajaran Allah, yang sudah menjelma menjadi sebuah persepsi dalam diri seorang mu’min justru menjadi “alat pandang”, menjadi teori nilai, dan seterusnya melahirkan visi-visi yang mampu menjadi solusi bagi segala permasalahan.
Jadi, kalimat an ta’budallaha ka-annaka tarمhu adalah gambaran tentang kelompok manusia yang menempati kelas tertentu; katakanlah kelas khawas (kebalikan awwam). Dalam konteks organisasi, mereka adalah orang-orang yang paling mengenal visi dan missi organisasi. Dalam konteks manajemen, mereka adalah para manajer. Dengan kata lain, secara umum, mereka adalah para pemikir dan atau orang-orang yang memiliki daya intelektual lebih tinggi di atas rata-rata (awam).
Sebaliknya, fa in lam takun tarمhu fa innahu yarمka adalah gambaran tentang kelompok orang awam; yang dalam konteks organisasi maupun manajemen menempati posisi sebagai orang-orang yang harus diatur, alias para pelaksana atau pekerja. Dengan catatan bahwa yang mengatur adalah Allah melalui ajarannya, yang dikuasai, dielaborasi, dan di-break down (dirinci) oleh orang-orang khawas itu.
Pengaturan dilakukan agar semua manusia (SDM) bekerja pada bidang masing-masing. Tidak boleh ada orang yang ditugaskan pada tempat yang salah; seperti kata Nabi: bila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya. Semua harus bekerja dengan sebaik-baiknya, seperti dikatakan Nabi, dalam hadis di atas, bahwa Allah menetapkan al-ihsân dalam segala urusan.
wallahu'alam..................................................

KONSEP DASAR DIENUL ISLAM ( Sebagai sebuah Jama'ah / Organisasi ) 1

Ada sebuah Hadis – yang dikenal sebagai Hadis Jibril, yang memberikan gambaran tersirat tentang Islam sebagai organisasi, namun telah disalahpahami, bahkan kemudian disalahgunakan, sehingga hakikat dari pesan Hadis itu menjadi kabur.
Dalam Shahih Muslim, disebutkan bahwa Hadis tersebut dipaparkan oleh Abdullah bin Umar berdasar penuturan yang didengar dari ayahnya sendiri, Umar bin Khatthab. Intinya adalah sebagai berikut:
Umar bin Khatthab bercerita: Pada suatu hari, ketika kami sedang duduk di dekat Rasulullah saw, tiba-tiba muncul seorang lelaki berpakaian sangat putih dan berambut sangat hitam. Tidak terlihat padanya tanda-tanda perjalanan jauh (yang menegaskan ia orang asing), namun seorang pun di antara kami tidak ada yang mengenalnya; sehingga (tanpa kami sadari) ia sudah duduk di hadapan Nabi saw. Lalu ia pertemukan lututnya dengan lutut Nabi, kemudian ia letakkan kedua tangannya di atas paha Nabi. Selanjutnya ia pun berkata, “Hai Muhammad, terang-kan padaku tentang Al-Islãm.”
Rasulullah saw menjawab: (1) “Al-Islãm adalah anda bersyahadat (menyatakan bahwa) Allah adalah satu-satunya Tuhan, dan Muhammad adalah rasul Allah; anda melaksanakan shalat; anda berzakat; anda melakukan shaum Ramadhan; dan anda berhaji ke baitullah bila sudah layak melakukan perjalanan ke sana.”
Lelaki itu berkomentar: Anda benar!
Kata Umar (kepada anaknya): Maka kami pun dibuat terkejut olehnya; (karena) dia yang bertanya, dia pula yang membenarkan (jawaban Nabi).
Kata lelaki itu kemudian: Selanjutnya, terangkan padaku tentang Al-ïmãn.
Jawab Nabi: (2) Al-ïmãn adalah anda meyakini (ajaran) Allah, yakni yang disampaikan oleh malaikat-malaikatnya, berupa kitab-kitabnya, yang diterima para rasulnya, sehingga (anda) sampai pada suatu tahap akhir, yakni anda hidup berdasar ketentuan (nilai) baik dan buruk menurutnya (Allah).
Lelaki itu berkomentar: Anda benar. Katanya lagi: Selanjutnya, terangkan padaku tentang Al-Ihsãn.
Kata Nabi: (3) Al-Ihsãn adalah anda mengabdi Allah (dengan sikap) seolah-olah anda melihatNya. Bila anda tidak bisa bersikap demikian, maka (sadarilah bahwa) Dia melihat anda.
Kata lelaki itu kemudian: Selanjutnya, terangkan padaku tentang As-Sã’ah.
Jawab Nabi: (4) Orang yang ditanya tentang itu (yakni Nabi) tidak lebih tahu dari yang bertanya (yakni lelaki itu).
Kata lelaki itu kemudian: Kalau begitu, terangkan saja padaku tentang tanda-tandanya.
Jawab nabi: (5) (Tanda-tandanya antara lain adalah) seorang wanita budak (pelayan) melahirkan anak tuannya, dan anda lihat orang-orang hina papa, para penggembala berlomba-lomba membangun gedung.
Kata Umar (kepada anaknya): Kemudian lelaki itu pergi. Aku terdiam sesaat, sampai kemudian Nabi bertanya padaku, “Hai Umar, tahukah kamu siapa yang bertanya itu?”
Kataku (Umar), “Allah dan rasulnya lebih tahu.”
Kata Nabi, “Sebenarnya dia itu adalah Jibril. Dia datang kepada kalian untuk mengajarkan tentang urusan (pokok) agama kalian.”
Demikianlah isi Hadis Jibril itu. Perkataan Nabi yang terakhir sengaja digarisbawahi karena merupakan kesimpulan; sedangkan jawaban-jawaban Nabi sengaja diberi nomor (1-5), karena itulah agaknya yang dikatakan Nabi sebagai amra dïnakum (أمر دينكم). Tentu yang dimaksud Nabi sebagai dïnakum (agama kalian) adalah dïnul-islãm. Dengan demikian, Hadis Jibril ini memberi gambaran tentang pokok-pokok permasalahan dïnul-islãm sebagai berikut.
Dïnul-islãm (agama Islam) itu terdiri dari:
– Al-Islãm(u)
– Al-Imãn(u)
– Al-Ihsãn(u)
– As-Sã’ah, dan
– Amãratus-Sã’ah
Dalam versi lain, dengan penutur Abu Hurairah, Jibril bertanya mulai dari Al-ïmãn, dan Nabi menjawab dengan kalimat agak berbeda, yaitu: Al-ïmãn anda meyakini ajaran Allah, yang disampaikan malaikatnya, yakni kitabnya beserta perwujudan nyatanya, yakni rasulnya, dan selanjutnya anda meyakini al-ba’tsul-âkhir.
Sedangkan Al-Islãm diuraikan Nabi sebagai anda (hanya) mengabdi Allah, dalam arti tidak mengadakan tandingan apa pun baginya, melaksanakan shalat maktubah (lima waktu), membayar zakat yang diwajibkan, dan melakukan shaum Ramadhan. (Tidak disebut tentang haji).
Al-Ihsãn adalah anda mengabdi Allah seolah-olah melihatnya, namun bila tidak dapat melihatnya maka (sadarilah) bahwa Dia melihat anda.
Ketika ditanya tentang As-Sã’ah Nabi mengatakan, “Orang yang ditanya tentang hal itu tidak lebih tahu dari yang bertanya. Tapi akan kusebutkan tanda-tandanya; (yaitu) bila seorang budak wanita melahirkan anak tuannya, maka itulah salah satu tandanya; dan bila orang miskin sudah menjadi pemimpin, maka itulah salah satu tandanya; dan bila penggembala kambing berlomba-lomba membangun gedung, maka itulah salah satu tandanya… Di antara yang lima (Abu Hurairah cuma menyebut tiga) itu, hanya Allah yang tahu.” Kemudian Nabi membaca ayat: “Ilmu tentang As-Sã’ah hanya milik Allah. Dialah yang menurunkan hujan, yang mengetahui isi kandungan (perempuan). Sedangkan manusia tidak mengetahui apa yang akan terjadi besok, tidak tahu di belahan bumi mana dia akan mati. Hanya Allah yang menegetahui segala sesuatu dengan seterang-terangnya.” Lalu kata Abu Hurairah, “Kemudian lelaki itu pergi. Maka kata Rasulullah saw, ‘Suruh lelaki itu kembali kepadaku.’ Maka mereka berusaha memanggilnya kembali, tapi tak seorang pun melihatnya. Maka kata Rasulullah saw, ‘Dia adalah Jibril, yang datang untuk mengajar manusia tentang agama mereka.’
Islam sebagai organisasi
Walaupun kita menerjemahkan Dïnul-Islãm sebagai Agama Islam (untuk memudahkan), kita tidak memahami Dïnul-Islãm sebagai kumpulan ritus – sebagaimana dipaparkan dalam buku -buku fiqih – tapi sebagai sebuah sistem untuk menata (mengatur) kehidupan manusia.
Perhatikan kembali urian di atas! Dalam Dïnul-Islãm ada al-islãm, yang di dalamnya terkandung lima unsur, yaitu syahadat, shalat, zakat, shaum Ramadhan, dan haji. Yang menarik, pada kesempatan lain, Nabi menyebutkan lagi Al-Islãm dengan kelima unsurnya itu dalam susunan kalimat yang dimulai dengan kata buniya (dibangun; dibentuk – lihat kembali artikel sebelum ini), sehingga bisa disimpulkan bahwa Al-Islãm itu adalah (ibarat) sebuah bun-yãn atau binã’an.
Bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, bun-yãn atau binã’an berarti bangunan. Tapi bila kita bawa ke dalam bahasa Inggris artinya adalah structure (struktur). Lebih lanjut, bila istilah struktur kita bawa ke dalam konteks kebudayaan, maka struktur itu terbagi dua: (1) supra struktur, dan (2) infra struktur.
Struktur manakah yang dimaksud oleh Nabi ketika beliau menyebut Al-Islãm – dalam konteks Hadis Jibril itu – sebagai bangunan? Jelas, redaksinya menegaskan, bahwa bangunan yang dimaksud bukanlah infra struktur.
Sepanjang sejarah perjuangannya, sekitar 23 tahun, Nabi baru membangun sebuah infra struktur pada tahun ke-13, dalam bentuk masjid yang sangat sederhana di Yatsrib, tepatnya di dusun bernama Quba, pada hari kesepuluh Hijrah. Sekitar tujuh bulan kemudian, didirikan pula sebuah masjid dan tempat tinggal keluarga Nabi di sebuah dusun lain, yang selanjutnya menjadi pusat kota Madinah. Selebihnya, yang dibangun oleh Nabi sepanjang hidupnya adalah sebuah supra struktur, yang di sini dibatasi dalam pengertian jama’ah, dengan catatan bahwa jama’ah ini adalah komunitas (Ing.: community) khusus para mu’min. Sedangkan masyarakat Madinah yang agak heterogen disebut Nabi dalam Piagam Madinah sebagai ummah (umat).
Perhatikanlah redaksi Nabi, dalam Hadis Jibril, ketika menjelaskan Al-Islãm, Al-Imãn, dan seterusnya, yang secara keseluruhan mengunakan kata kerja berisi kata ganti anta (anda). Ini adalah isyarat bahwa dalam pembicaraannya Nabi memberi penekanan pada faktor manusia, yaitu manusia yang ber-Al-Islãm, ber-Al-Imãn, dst.
Jelasnya, Al-Islãm itu baru bisa muncul bila ada manusia yang bersyahadat, manusia yang shalat, dst. Dengan kata lain, Al-Islãm dalam konteks hadis itu, adalah sebuah “kumpulan (jama’ah) manusia”.
Tentu saja mereka berkumpul bukan asal berkumpul, tapi berkumpul secara tertata, tersusun, alias terstruktur, bahkan juga terikat dalam suatu “sistem komando”. Jangankan berkumpul dalam jumlah banyak, bahkan dalam jumlah kecil pun harus dipastikan strukturnya, seperti kata Nabi dalam sebuah hadis bahwa dalam ‘rombongan’ yang terdiri dari dua orang pun harus dipastikan siapa yang menjadi pemimpin.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kelima unsur dalam Al-Islãm itu disebutkan bukan dalam konteks ritual, tapi dalam konteks organisasi. Alhasil, pengetian kelima unsur di dalamnya adalah:
1. Syahadat: bay’at (sumpah setia, yang dilakukan secara formal) terhadap pemimpin, yakni Allah, melalui rasulnya.
2. Shalat (= ad-du’a, harapan; cita-cita; obsesi) pemantapan tekad atau cita-cita dalam diri setiap anggota (mu’min) untuk menegakkan ajaran Allah (Al-Qurãn), dengan melakukan proses pembatinan (internalisasi) yang terus-menerus, melalui pelaksanaan shalat ritual, terutama yang dilakukan secara bersama-sama (berjama’ah). Shalat jama’ah ini bahkan merupakan lambang dari shaff (barisan) yang disebut bun-yãnun marshûsh itu.
3. Zakat: penyerahan sebagian harta untuk kepentingan organisasi (jama’ah), minimal 2½ persen kekayaan pribadi, dan maksimal tak terbatas.
4. Shaum Ramadhan: sarana pembinaan ketahanan fisik dan mental setiap anggota jama’ah, untuk membuktikan bahwa mereka benar-benar hanya bertuhan Allah, sehingga mereka siap menghadapi segala godaan dan kesulitan dalam perjuangan.
5. Haji: Sarana pembinaan hubungan internasional antar umat Islam yang tinggal di berbagai belahan bumi .
Iman sebagai dasar
Pembahasan berikutnya dalam Hadis Jibril adalah Al-Imãn, yang juga harus diingat bahwa istilah ini disebut dalam konteks organisasi. Melalui hadis inilah kita bisa melihat perbedaan makna antara islãm dan imãn secara tegas (definitif), seperti yang diisyaratkan Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 14-15:
قالت الأعراب آمنّا قل لم تؤمنوا ولكن قولوا أسلمنا ولمّا يدخل الإيمان فى قلوبكم وإن تطيعوا الله ورسوله لا يلتكم مِن أعمالكم شيئا إنّ الله غفور رحيم – إنّما المؤمنون الذين آمنوا بالله ورسوله ثمّ لم يرتابوا وجاهدوا بأموالهم وأنفسهم فى سبل الله أولئك هم الصادقون
Orang-orang Arab (Makkah, pada masa Futuh Makkah) menyatakan (kepada Rasulullah), “Kami beriman!”. (Kata Allah kepada rasulnya) “Tegaskan: mereka belum beriman! Sebaliknya, suruh mereka untuk mengatakan: ‘kami menyerah (takluk)’; karena iman itu belum masuk ke dalam jiwa kalian. Namun bila kalian (dalam keadaan demikian itu) mematuhi Allah dengan mengikuti perintah dan keteladanan rasulnya, maka segala amal kalian tidak akan disepelekan; karena Allah (melalui ajaranNya) maha penutup (kejahatan masa lalu kalian) dan maha pewujud kehidupan kasih sayang.”
Sebenarnya para mu’min adalah orang-orang yang beriman (hidup) dengan ajaran Allah dengan cara meneladani rasulnya, sehingga dalam diri mereka tak ada keraguan lagi, dan selanjutnya mereka berjihad mempertaruhkan harta dan nyawa dalam rangka menegakkan ajaran Allah. Mereka itulah yang benar-benar beriman.

Selasa, 20 Januari 2015

DEVINISI IMAN DAN PERBANDINGAN ISTILAH (Kafara ,Kadzaba)

DEVINISI IMAN

dari hasil pembuktian “nilai dan harga Iman” Yang telah kita uraikan waktu lalu maka terbukalah jalan untuk memberi definisi tentang Iman yang mendekati secara obyektif.
Berdasar pembuktian-pembuktian diatas maka kita tarik definisi Iman menjadi sebagai berikut :

1) Iman, secara umum, ialah pandangan dan sikap hidup dengan ajaran Allah (al-Qur’an) ms Rasul dan atau dengan ajaran-ajaran selainnya yakni ms syayathin. Dan orang yang demikian dinamakan mukmin seumumnya.

2) Iman, secara khusus, ialah pandangan dan sikap hidup dengan ajaran Allah (al-Qur’an) ms Rasul, dinamakan Iman yang haq(obyektif).

Dan orang yang demikian dinamakan mukmin yang haq artinya mukmin yang obyektif dengan al-Qur’an ms Rasul sebaliknya pandangan dan sikap hidup dengan ajaran-ajaran selain Allah (al-Qur’an) ms Rasul, yakni ms syayathin ialah Iman bathil atau kufur.

Dan orang yang demikian dinamakan mukmin bathil atau kafir.


Untuk mudahnya maka arti structural (bangunan) Iman dimaksud diatas, baik secara umum maupun secara khusus, kita tuang dalam bentuk sket segitiga sama sisi, sebagai berikut :


Sket Struktural Iman


Keterangan :

A = Allah, perancang dan pemastian kehidupan (qadiirun).


B = Kenyataan hidup nabi Muhammad Rasulullah, pola atau bentuk contoh kehidupan dari ajaran Allah (uswatun hasanah).


B1 = Al-Qur’an sebagai Imam

B2 = Kenyataan hidup mukmin yang obyektif dengan al-Quran ms Rasul yang oleh Nabi Muhammad dinyatakan “Sahabatku di Jannah”.

C = Kenyataan alam organis, biologis dan gaya yang tergantung kepada Allah.


ABC = (yang terperinci menjadi AB1C dan AB2C) = Nur ms Rasul yaitu pantulan terang dari Al-Qur’an ms Rasul (Nurun “Ala).

BE = Dzulumat dalam arti bayangan yaitu pantulan gelap yang bertolak belakang dengan pantulan terang dinamakan Nurin.

BDE = Sudut memandang dzulumat yang obyektif dari Allah ms Rasul-Nya.

BED = Sunnah Syaitahn, laknatullah wal malaikat wan naasi ajma’in (Surat Baqarah ayat 161).

BDC = Salah satu alternative, secara d’efect, menjadi aduk-adukan pandangan Nur-dzulumat (ABC-BDE), dalam bentuk kadzdzaba menjadi model ketiga, ialah idealisme.


CF = Dzulumat ialah bayangan yaitu pantulan gelap dari kenyataan alam.

CDF = Sudut memandang dzulumat secara obyektif Ilmiah dengan Al-Qur’an ms Rasul.

FDC = Salah satu lternative lain, secara reflex, dalam bentuk tawalla CDF menjadi semodel bathil.

ED dan FD = Segala daya upaya aduk-adukan Nur-dzulumat dan atau penyalah gunaan dzulumat menjadi semodel bathil (DC), dinamakan “khutuwatis syaithan = strategi dan taktik pilihan dzulumat ms syayathin.

DC = Hasil aduk-adukan Nur-dzulumat (ABC-BDE) menjadi BDC dan atau penyalahgunaan dzulumat (CDF) menjadi FDC, keduanya menjadi semodel bathil.

Untuk lebih mempertajam arti sudut BDE dan atau CDF yang ditumpang tindih diatas BDC sehingga menjadi Bathil (aduk-adukan Nur-dzulumat dan atau penyalah gunaan dzulumat ms syayathin) ialah satu Qadar atau Taqdir Syar (rancangan dan kepastian hidup jahat) atau “arbaaban min duunillaahi” maka kita petik Surat 015 al - Hijir ayat 43 dan 44 demikian :
Artinya :


43. “Maka sesungguhnya jahannam adalah benar-benar menjadi tempat kepastian mereka yang berpandangan dan bersikap dzulumat as syayathin semuanya”.

44. Ujudnya itu (jahannam) adalah sejenis bangunan bertingkat tujuh dimana masing-masing tingkatannya itu adalah bagian golongan tertentu”. 



Dan untuk mudahnya maka Qadar atau Taqdir Syar ini kita sket menjadi sebagai berikut :




Sket Taqdir Syar / Sosial Piramidal Sistem kehidupan saling gusur, saling todong, saling peras memeras, saling menghina dan memiskinkan, kehidupan buah simalakama, dsb.

PERBANDINGAN ISTILAH

Istilah Kafara – yakfuru – kafran – kufran – kufuran – kafirun 
artinya ; berpandangan dan bersikap dzulumat menurut sunnah syayathin dan berlaku negatif terhadap ajaran Allah (al-Qur’an) menurut sunnah Rasul.

Secara umum sama dengan istilah Kadzaba – yakdzibu – kadzban – kadzibun atau kadzdzaba – yukadzibu - takdziban – mukadzibun 
artinya ; secara umum juga berpandangan dan bersikap dengan dzulumat menurut sunnah syayathin,

tetapi secara khusus = mendustakan ajaran Allah (al-Qur’an) menurut sunnah Rasul dengan jalan mengaduk-aduk atau melacur ajaran Allah (al-Qur’an) menurut sunnah Rasul sehingga membentuk model ketiga (maghdub) yang beralamat dari Allah, padahal bikinannya sendiri

Sedangkan Kafara adalah kelanjutan dari kerja Kadzdzaba, yaitu memaling ajaran Allah (dzulumat) hingga menjadi penemuan/ciptaan sendiri dalam bentuk bathil.

Surat Al-Fatihah menyebut Kafara = Dhalliin. Jadi Kadzaba secara umum, berlaku sama baik untuk kafara maupun bagi kadzaba dan kadzdzaba
seperti dimaksud dalam Surat 029 Al-Ankabut 12-13 :

Artinya :

12 “Yaitu berkatalah mereka yang, atas pilihan dzulumat menurut sunnah syayathin, berlaku negatif terhadap yang hidup berpandangan dan bersikap dengan ajaran Allah (al-Qur’an) menurut sunnah Rasul-Nya : “Mari masuk organisasi (sabil) kami niscaya kelak kami akan menanggulangi setiap beban/kesulitan hidup kalian !. dan sebenarnya mereka itu bukannya mau menanggulangi / memecahkan beban / kesulitan orang lain tetapi sebenarnya mereka itu adalah pelacur (pengaduk-aduk) kesulitan hidup dimanapun”. 
13 “Yakni sebenarnya mereka, atas pilihan dz ms sy, melacurkan (memboncengi) beban / kesulitan hidupnya menjadi beban yang lain yaitu satu penambahan beban atas yang lain yang sudah demikian berat hidupnya. Maka pasti kelak mereka, dikala qiyamah sudah tiba, akan diminta pertanggungan jawab perihal apa yang adalah mereka, atas piliah dz ms sy, mengelabui siapapun”. 

Istilah Syirkun dalam arti sempit adalah aduk-adukan, sama dengan Kadzdzaba secara khusus,
Surat 042 Asy Syura ayat 13 menegaskan demikian : 

Artinya :

13 “Dia (Allah), dengan al-Qur’an ms Rasul-Nya, menata kehidupan kalian menurut satu penataan (Dinul Islam) yang Dia telah mengajarkannya menurut sunnah Muhammad SAW. Sehingga apa yang telah Kami wahyukan (al-Qur’an) menurut sunnah Rasul anda ( Muhammad SAW). “Yaitu yang Kami telah mewasiatkannya menurut sunnah Ibrahim, Musa, dan sunnah Isa : “Agar kalian membangun dien ini (Islam) menjadi penataan hidup kalian dan jangan dengan dzulumat menurut sunnah syayathin yang pecah belah”. Dari itu maka dakwah mereka yang aduk-adukan Nur-dzulumat menurut sunnah syayathin (Yahudi dan Nashara yang mendakwa kitab perjanjian lama dan perjanjian baru warisan Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Daud dan Nabi Ismail, termasuk Arab jahiliah yang mendakwa hidupnya itu adalah menurut warisan Nabi Ibrahim melalui Nabi Ismail, kenyataan semuanya sudah lain dari al-Qur’an menurut sunnah Rasul ini) adalah bual besar. Allah, dengan al-Qur’an ms Rasul-Nya, memberikan satu pilihan ( mau Nur atau dzulumat) bagi siapa yang mau menurut Nya itu. Yaitu Dia, dengan al-Qur’an menurut sunnah Rasul-Nya, memberikan pedoman hidup bagi siapa yang mau menjadi mutawakkilun menurut-Nya”. 


Istilah Walla dan Tawalla, arti leterleknya berpaling/menyeleweng. Tetapi secara umum baik yang menyalahgunakan dzulumat menurut sunnah syayathiin maupun yang mengaduk-aduk Nur - dzulumat menurut sunnah  syayathiin, keduanya sama-sama menyelewengkan dzulumat menurut sunnah syayathin.


Istilah Munaafikun dan Mudzabdzabin , artinya bermuka dua atas pilihan dzulumat menurut sunnah sy ayathiin terhadap yang Nur menurut sunnah Rasul.

Hal mana oleh Surat 04 An-Nisa ayat 137-143 dan 145 menggambarkan demikian ;


Artinya :

137. “Sebenarnya yang telah menyatakan diri hidup berpandangan dan bersikap dengan ajaran Allah menurut sunnah Rasul-Nya, selanjutnya atas pilihan dzulumat menurut sunnah syayathiin bersikap negative terhadap ajaran Allah menurut sunnah Rasul-Nya, selanjutnya dia balik lagi menyatakan hidup berpandangan dan bersikap dengan ajaran Allah ms Rasul-Nya, kemudian dia, atas pilihan dzulumat menurut sunnah syayathiin berlaku negative terhadap ajaran Allah, akhirnya makin menjadi-jadi sikap negatifnya terhadap ajaran Allah ms Rasul-Nya. Sehingga Allah, dengan ajaran-Nya (al-Qur’an menurut sunnah Rasul-Nya) tidak akan mempedomani lagi kehidupan mereka satu penataan hidup (Dinul Islam) menurut-Nya”.


138. “Maka dengan pembuktian al-Qur’an ms Rasul ini) peringatkan mereka yang atas pilihan 
dzulumat menurut sunnah syayathiin , hidup bermuka dua terhadap ajaran Allah (al-Qur’an menurut sunnah Rasul-Nya) bahwa bagi mereka yang demikian adalah satu kehidupan nista yang demikian pedih tiada tanding”.

139. “Mereka yang mengambil orang yang memilih dzulumat menurut sunnah syayathiin dan bersikap negative terhadap ajaran Allah menurut sunnah Rasul-Nya menjadi pemimpinnya selain dari kalangan yang hidup berpandangan dan bersikap dengan ajaran Allah menurut sunnah Rasul-Nya, dapatkah mereka mengharapkan satu kehidupan mulia/agung dari pangkuan mereka yang demikian itu ? maka sesungguhnya kehidupan mulia / agung itu hanyalah dengan ajaran Allah ( Al-Quran ) menurut sunnah Rasul-NYA se-bulat-bulatnya!”. 

140. “Dan sebenarnya Dia telah menurunkan atas kalian didalam kitab ini (al-Qur’an menurut sunnah Rasul-Nya), bahwa bila kalian melaksanakan garis “sami’na” ajaran Allah menurut pembuktian sunnah Rasul-Nya ada orang yang atas pilihan dzulumat menurut sunnah syayathiin, berlaku negatif terhadap yang demikian yaitu mengolok-olokkannya, maka janganlah kalian, dengan pilihan Nur (al-Qur’an) menurut sunnah Rasul ini, duduk sebangku bersama mereka yang demikian, sebaliknya akan menjerumuskan kalian kedalam ajaran selain al-Qur’an menurut sunnah Rasul-Nya, niscaya kalianpun menjadi semodel mereka. Sesungguhnya Allah, dengan pembuktian al-Qur’an menurut sunnah Rasul-Nya, adalah penghimpun orang-orang kafir dan munafiq kedalam kehidupan jahannam semuanya”.

141. “Mereka yang, atas pilihan dzulumat menurut sunnah syayathiin, mencari peluang didalam kehidupan kalian yang Nur (al-Qur’an) menurut sunnah Rasul ini. Maka jikalau adalah kalian sudah mendapat satu kemenangan hidup dengan ajaran Allah menurut sunnah Rasul-Nya niscaya mereka terus saja membual kata : “Bukankah kami ini jama’ah kalian ? Tetapi jikalaulah kemujuran hidup itu lagi ditangan orang yang, atas pilihan dzulumat menurut sunnah syayathiin bersikap negatif terhadap ajaran Allah menurut sunnah Rasul-Nya ini niscayalah mereka juga membual kata : “Bukankah kami tidak mengharapkan kekalahan atas kalian yaitu kami melindungi kalian dari (serangan) orang-orang yang hidup berpandangan dan bersikap dengan ajaran Allah ms Rasul-Nya?!!. Maka Allah, dengan pembuktian al-Qur’an menurut sunnah Rasul-Nya, menghukum diantara kalian pada hari qiyamat, yaitu Allah, dengan pembuktian al-Qur’an menurut sunnah Rasul-Nya, tidak pernah memberi jalan bagi yang kafir atas yang beriman”.

142. “Sebenarnya orang-orang yang bermuka-dua dengan pilihan dzulumat menurut sunnah syayathiin terhadap yang Nur (al-Qur’an) menurut sunnah Rasul adalah mereka yang mengelabui ajaran Allah menurut sunnah Rasul-Nya. Dan Allah, dengan pembuktian al-Qur’an menurut sunnah Rasul-Nya, pemungkas tipu daya mereka itu. Yaitu mereka dikala tegak melakukan shalat hanyalah tegak bisu sekedar memperlihatkan kepada manusia, yaitu tidak pernah menyadarkan diri untuk hidup dengan ajaran Allah menurut sunnah Rasul-Nya kecuali hanya sekilas saja”.

143. “Menjadi orang yang bermuka dua (mudabdabin) diantara yang demikian. Tidak masuk golongan mereka yang hidup berpandangan dan bersikap dengan ajaran Allah menurut sunnah Rasul-Nya juga buka golongan yang hidup dzulumat (Naturalisme) menurut sunnah syayathin”. 
145. “Sebenarnya orang yang bermuka dua terhadap Nur menurut sunnah Rasul dan atau dzulumat menurut sunnah  syayathiin (magduub) adalah alas lantai nar dari kehidupan yang benar-benar hidup dzulumat menurut sunnah syayathiin sehingga akan kalian dapati bahwa bagi yang demikian itu tidak pernah mendapat pendukung yang sebenarnya”.


Demikianlah modelnya, Munafiqun, Mudabdabin dan Mukadzibun dalam arti sempit.

Tetapi dalam arti umum biasa saja yang benar-benar dzulumat menurut sunnah syayathin (Naturalisme) pun berwajah Munafiqun, Mudabdabin dan Mukadzibun, sebagai musang berbulu ayam untuk missi mengacau balau/menghancurkan Iman dari dalam.

Istilah Murtad, yaitu bolak balik dari satu agama dan atau berpindah agama, dilihat dari sudut agama yang dia tinggalkan.Masalah Munafiqun, Mudabdabin dan Mukadzdzibun, dalam arti sempit sama dengan bermuka dua, aduk-adukan, tidak menentu atau kesasar dzulumat menurut sunnah syayathiin, juga dinamakan golongan ketiga.

Oleh Surat 009 Taubah ayat 118 menegaskan demikian :

Artinya :


118. “Dan atas golongan ketiga, yang dipandang telah membelakangi ajaran Allah ms Rasul-Nya, sehingga dikala bumi yang demikian luas menjadi sempit atas mereka yang demikian yaitu mereka menjadi panik dan mengira bahwa tidak ada tempat pelarian kecuali dengan ajaran Allah ms Rasul-Nya, maka Dia memberikan satu jalan taubat atas mereka yang demikian guna mereka melakukan taubatnya, sesungguhnya Allah, Pembina taubat lagi pemasti satu kehidupan saling kasih sayang”. 

Dengan perkataan lain Munafiqun, Mudabdabin dan Mukadzdzibun ini dalam arti sempit dinamakan juga bermanis muka atau bunglon, oleh Surat 070 Ma’arij ayat 36-39 menyatakan demikian : 


artinya ; 

36. “Maka gerangan apa mereka yang, atas pilihan dzulumad menurut sunnah syayathiin itu, bermanis muka terhadap kalian yang hidup berpandangan dan bersikap dengan ajaran Allah menurut sunnah anda (Muhammad) ?!


37. “Juga yang menjadi bunglon, terhadap yang Nur (al-Qur’an) menurut sunnah Rasul dan atau terhadap yang dzulumat (Naturalisme) ms syayathin?!

38. “Apakah setiap orang dari kalangan mereka yang demikian (munafiq) mengira bahwa mereka itu akan mendapat satu kehidupan jannah yang demikian nikmat tiada tanding?!


39. “Tidak bakal : Sebenarnya Kami (Allah) dengan pembuktian al-Qur’an menurut sunnah  Rasul Kami, membikin mereka menurut apa yang mereka meng-ilmui-nya”.


Sejajar dengan Munafiqun, Mudabdabin dan Mukadzdzibun adalah Jahiliyah ialah “Iman dengan apa yang dia tidak pernah mengetahui/menguasainya”, dan pendukungnya adalah jahil, oleh Surat 031 Luqman ayat 20-21 menegaskan demikian :

Artinya :

20. “Tidakkah kalian melihat bahwa Allah, dengan pembuktian al-Qur’an menurut sunnah Rasul-Nya, telah membikin segala apa yang diruang angkasa dan segala apa yang dibumi ini untuk kepentingan hidup kalian, begitu Dia, dengan ajaran-Nya (al-Qur’an menurut sunnah Rasul-Nya), menghamparkan atas kehidupan kalian ciptaan-Nya itu menjadi satu kemantapan lahir (iqrarun bil lisaani wa ‘amalun bil arkan) dan batin (‘aqdun bil qalbi). Dan sebagian manusia adalah yang bantah membantah perihal ciptaan Allah itu dengan tanpa alasan ilmiah yaitu tanpa pedoman hidup yakni tanpa satu buku pegangan yang memberikan satu pandangan hidup”.


21. “Dan apabila kepada mereka yang demikian itu disampaikan : “Mari (hidup) mengikuti menurut yang Allah turunkan (al-Qur’an menurut sunnah Rasul-Nya)!, mereka lantang menjawab : “Sebaliknya, kami hidup mengikuti suatu (tradisi) yang kami mewarisinya dari nenek moyang kami, sekalipun yang demikian itu adalah da’wah syaithan kearah satu kehidupan azab Naar.


Penggolongan Iman secara tajam menjadi Iman Haq dan Iman Bathil, oleh Surat 056 Waqiah dinamakan ashabul maimanah / ashabul yamin (golongan kanan) untuk mukmin dan ashabul masy-amah / ashabus syimal (golongan kiri) untuk mukmin bathil atau kafir.

Dan yang satu lagi ialah as saabiquunas saabiquun (golongan terdahulu lagi utama). Kesemuanya oleh Surat 056 Waqiah ayat 7-14, 27, 38-41 dan 51, menegaskan demikian :


Artinya :

7. “Dan semua kalian, menurut satu pilihan masing-masing, menjadi tiga golongan. 
8. “Yaitu ashabul maimanah ( gol kanan), dan apakah yang dimaksud dengan ashabul maimanah? 
9. “Dan ashabul masy-amah (golongan kiri), dan tahukah kalian apa yang dimaksud dengan ashabul masy-amah?


10. “Dan as-saabiquunas saabiquun (golongan terdahulu lagi utama). 
11. “Adalah mereka (gol. Terdahulu lagi utama) yang berdarah-daging dengan ajaran Allah (al-Qur’an) menurut sunnah Rasul-Nya.


12. “(Ujud kehidupan dengan al-Qur’an menurut sunnah Rasul) menjadi bagaikan aneka macam kebun didalam satu taman yang merindangkan kepuasan tiada tanding”. 
13. “Jumlahnya itu (yang pada kurun I) adalah lebih banyak dari yang sebelumnya”. 
14. “Tetapi sedikit sekali dibanding dengan yang terakhir (kurun kedua)”.

27. “Maka ashabul yamin (golongan kanan) dan tahukah kalian apa yang dimaksud dengan golongan kanan?.

38. “(Kesemuanya itu adalah corak ragam kehidupan) bagi golongan kanan”.

39. “Jumlahnya itu (pada kurun pertama) adalah lebih banyak dari sebelumnya”. 
40. “Juga jumlahnya itu (pada kurun pertama) adalah lebih banyak dibanding dengan yang terakhir (pada kurun kedua)”.


41. “Dan ashhaabus syimal ( golongan kiri ), tahukah kalian apa yang dimaksud dengan ashabus syimal ? “

51. “(dengan segala corak ragam kehidupan diatas) akhirnya, sebenarnya, wahai kalian yang demikian itu, adalah pelaku dzulumat lagi yang melacur Nur-dzulumad menurut sunnah syayathin”. 


Surat Waqiah diatas membuktikan bahwa keseluruhan kehidupan manusia disepanjang sejarah, dilihat dari sudut tanggapan ilmunya, menjadi mukmin dan kafir.

Selanjutnya, dilihat dari sudut kemantapan tanggapan ilmunya, maka : Mukmin dibagi menjadi assabiqunasaabiqun, yang bagaikan sejenis tonggak atau penyokong kehidupan kebudayaan secara ilmiah di sepanjang sejarah, dan semua mukmin yang lain menjadi sayap kanannya (ashabul yamin).


Kafir, dibagi menjadi dalam arti sempit yaitu yang benar-benar dzulumat menurut sunnah syayathin, menjadi sayap kiri (ashabus syimal) dari assabiqunas sabiqun.

Sedang kafir dalam arti umum, dimaksud disini ialah munafiq, mukadzibun atau mudabdabin, menjadi ular berkepala dua / tombak bermata dua atau bunglon, yaitu sayap kanan dari sayap kiri (“Anis Yamin wa ‘anis syimal – Ma’arij 37), atau sayap kiri yang tersembunyi dari assabiqunas sabiqun dan ashabul yamin-nya.

Akhirnya perlu ditegaskan dalam persoalan Iman ini, teristimewa untuk Iman yang haq, bahwa hakikat Iman ini adalah satu alternatif dari penguasaan ilmunya yakni al-Qur’an menurut sunnah Rasul, yang oleh Surat 042 Asy Syura ayat 52 dan 53, membuktikan demikian :


Artinya :


52. “Maka begitulah Kami (Allah) mewahyukan al-Qur’an ms Rasul anda (Muhammad) menjadi jiwa (pembangkit) perintah Kami. Kalian tidak menguasai apa isi kitab al-Qur’an menurut sunnah Rasul ini niscaya kalian tidak mempunyai iman, sebaliknya Kami menjadikannya (al-Qur’an menurut sunnah Rasul) dengan nama Kami memberikan pedoman hidup bagi siapa dari abdi abdi kehidupan yang mau dengan yang Kami kehendaki menurut sunnah Rasul Kami. Dan sebenarnya anda (Muhammad), dengan al-Qur’an menurut sunnah anda ini, memberikan satu pedoman kearah satu penataan tangguh tiada tanding”.

53. “Tata kehidupan dari ajaran Allah yang menurut itulah, berlaku segala apa yang ada didalam ruang angkasa dan dibumi ini. Ketahuilah, dengan ajaran Allah menurut sunnah Rasul-Nya, beredar segala urusan kehidupan ini”



Demikianlah Iman ialah pandangan dan sikap hidup dilihat dari sudut kenyataan hidup Amalun atau aqdun dan Ikrar bil lisan adalah perujudan dari hasil penguasaan ilmu menjadi permukaan dalam dari kenyataan hidup yang terkenal dengan istilah “tanggapan” .

Arti tanggapan atau tanggapan tujuan yaitu “niyat” (sama dengan maksuudun ialah yang dimaksud yakni yang mau dilakukan untuk mencapainya), sehingga hidup ini adalah satu alternatif dari satu pilihan ilmunya, oleh hadis jumhur menegaskan demikian :

................................................. “Sesungguhnya segala laku-perbuatan itu sudah menurut satu tanggapan tujuan (niyat yakni satu alternatif ilmu). Dan pasti bagi setiap manusia adalah hidup menurut apa yang ia menanggapinya (dari satu alternatif ilmunya).


Maka siapa yang hidupnya itu pindah (hijrah) kepada ajaran Allah (al-Qur’an) menurut sunnah Rasul-Nya maka bentuk laku perbuatannya (hasil perubahan dari yang lain itu) harus menurut ajaran Allah (al-Qur’an) menurut sunnah Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya itu adalah mengikuti lingkungan dunianya (Naturalisme dan Idealisme) niscaya menurut istilah mendapat model laku perbuatannya.

Atau jika menurut lingkungan sex, maka laku perbuatannya itu hanyalah dari kawin ke kawin saja. Maka model laku perbuatan setiap manusia (hasil hijrahnya) adalah mengikuti apa kearah mana ia mengarahkan hidupnya”. 

__________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________

#  dz ms sy = Dzulumat Menurut Sunnah Syayathiin
#  msr         = Menurut Sunnah Rasul

ISLAMISME (PRODUK YAHUDI) UNTUK IMPERIALISME ALAM PIKIRAN


Islamisme sebagai agama 2nd hand yahudi bermula dari citra dirinya yg dicap dan dikutuk dunia karena sejarah masa lalunya. Jahudi tabu merekrut bangsa dan ras lain ke dalam agama yahudi oleh karena itu sebagai solusinya bangsa yahudi menciptakan agama baru yg nantinya bisa dianut oleh semua bangsa lain di dunia. demi imperialisme dan penguasaan dunia.
yahudi sebagai bangsa yg ingin menguasai dunia haruslah menempatkan semua manusia di dunia ini subodinat di bawah pengawasan mereka. dan alat apa yg sekiranya lebih ampuh dari doktrin agama?
namun demikian untuk menguasai 99% penduduk dunia di bawah kendali mereka tidaklah mudah namun demikian bangsa yahudi adalah bangsa yg sangat cerdas , dirancanglah sebuah skenario yg luar biasa rumit dan advancednya sulit bagi manusia biasa membayangkan bagaimana mereka bisa merancang konspirasi yg sedemikian hebatnya. namun saya berspekulasi itu semua berkaitan dgn naluri bertahan hidup mereka di tengah2 dunia yg cenderung tidak bersahabat.
salah satu tehnik dan strategi mereka adalah menciptakan skenario manajemen konflik yg bisa memecah belah warga dunia sehingga mereka terlalu sibuk dgn problematika masing2 dan tidak memiliki sisa sumber daya untuk melihat apa yg sebenarnya sedang terjadi.

dan salah satu skenario manajemen konflik ini adalah islam islam diposisikan sebagai ideologi yg membenci yahudi ini guna menghilangkan kecurigaan serta menenggelamkan bangsa yahudi dari pusat perhatian dunia. sementara para pucuk pimpinan2 islam saja yg mendapatkan akses informasi tentang apa yg sebenarnya terjadi, sisa populasi muslim dunia adalah disposable resource yg bisa dimanipulasi demi kepentingan manajemen konflik tadi.
grass root islam di seluruh dunia meluap2 semangatnya mengikuti perintah ajaran agama mereka sementara para pemimpin mereka kadang bermain sandiwara mengecam israel, sementara di belakang panggung mereka menikmati segala kemewahan dan jaminan keamanan & kedudukan sosial dgn jalan bekerja sama dgn agensi2 dinas rahasia yahudi zionis. terbukti militer gabungan seluruh negara2 islam tidak pernah berhasil mengancam kedaulatan israel.
dan ini semua memang sejalan dgn sifat alami manusia yg telah dipelajari dan sengaja dieksploitasi oleh intelijen elit yahudi. luar biasa sekali memang bangsa yahudi ini, mereka memiliki akses informasi dan tehnologi yg luar biasa maju di berbagai bidang. mereka sangat ahli dalam bidang pengetahuan psikologis manusia. sehingga manajemen konflik vertikal dapat mereka manipulasi dgn sangat efektif.

pada akhir abad ke-6, bangsa yahudi dikabarkan menerima pesan untuk membuat sebuah konspirasi pendirian agama baru yg nantinya akan menjadi pelayan bagi bangsa yahudi secara rahasia dan umat ini ternyata menjadi umat terbesar ke-2 diseantero planet bumi sementara bangsa yahudi telah berhasil pula melakukan penetrasi ke dalam umat kristen, maka 2/3 dunia telah berada di bawah komando yahudi secara tidak langsung.
sementara bangsa2 dari agama2 timur diprediksi tidak akan menjadi ancaman berarti bagi yahudi, justru pada akhirnya mereka akan bekerja sama membangun planet ini secara sukarela ini dikarenakan mereka tidak terlalu memiliki interest memusuhi ataupun menganiaya bangsa yahudi namun pada dasarnya mereka tetap saja manusia yg memiliki potensi ancaman thd bangsa yahudi bila dibiarkan. maka dari itu diciptakanlah komunisme yg ternyata membuat nasion2 mereka sangat sibuk dan terdistraksi dan bukan saja komunisme berhasil thd bangsa2 timur namun juga thd negara2 dunia ketiga lainnya seperti amerika latin, afrika dan eropa timur.

dan langkah terakhir bangsa yahudi dalam menguasai dunia adalah diterapkannya single global currency, karena dgn menguasai finansial dunia dan bank sentral dunia, maka mereka juga secara automatis memiliki segala sumber daya yg ada di planet ini, termasuk semua SDA dan SDM-nya.
informasi telah menjadi kekuatan utama bangsa yahudi selama ini selama berabad2 mereka sangat gigih mengumpulkan segala macam pengetahuan di seluruh pelosok planet ini dgn segala cara, bergerak secara militan dan underground. selama berabad2 ke belakang, finansial, informasi serta ilmu pengetahuan menjadi prioritas utama mereka. yg saya sendiri masih sulit memahami darimana datangnya koordinasi dan determinasi mereka.
dan coba kita lihat kepada siapa tuhan berpihak? siapa yg menjadi kesayangan tuhan dan senantiasa mendapatkan berkah, anugerah dan bantuannya? hanya sebuah bangsa kecil yg bahkan populasinya tidak mencapai 0,5% dari keseluruhan populasi dunia .

namun barangkali inilah takdir dan barangkali mungkin memang hanya bangsa yahudilah yg pantas menjadi ras teratas di planet ini.............
kita lihat saja akhir dari cerita ini apa yg akan terjadi, siapa yg tertipu mentah2 dan siapa yg pada akhirnya menjadi pemenang dan berjaya........?

Selasa, 13 Januari 2015

SEJARAH PERGESERAN MAKNA IMAN

Pada tanggal 17 Ramadhan tahun 40 tahun gajah ( 610 M) turunlah wahyu yang pertama kepada Muhammad sekaligus pengangkatan Muhammad menjadi Rasulullah
seperti dibuktikan pada Surat 96 Al 'Alaq ayat 1 – 5 :

Artinya :
1. Kajilah / Studilah Alquran berdasarkan ajaran / isme / Ilmu-Nya ( Alquran msr ) , pembimbing kehidupan kamu, ( Dia Allah ) yang telah menciptakan segala".


2. "Dia, Allah yang telah mencipta manusia dari segumpal sel-sel darah dalam proses paduan dua sperma".

3."Nyatakan diri kamu, yakni menurut ajaran pembimbing kamu yang memiliki nilai-nilai kehidupan mulia".

4."Dia, Allah yang telah mengajarkan satu ilmu untuk dibukukan kedalam satu kitab yakni al-qur'an ms rasul-Nya".

5."Yang mengajarkan manusia tentang segala sesuatu yang tidak pernah diketahuinya".
 


Begitulah seterusnya, Allah terus menerus menurunkan al-qur'an menurut sunnah  rasul-Nya sehingga, setelah kurang lebih 23 tahun, al-qur'an menurut sunnah rasul menjadi lengkap seperti yang kita saksikan sekarang ini.
 


Missi al-qur'an menurut sunnah Rasul bagaikan bulan purnama membelah pandangan hidup kedalam sudut yang memancar pandangan terang benderang bagi orang2 mukmin


Sebaliknya Romawi ( blok barat) lawan Persia baru (blok timur) hanyalah keledai komidi Yahudi yang berjingkrak-jingkrak dimalam gulita. Satu kesatuan konstitusional tetapi hatinya pecah belah. 



Al-qur'an menggambarkan pertarungan kebudayaan abad ke-7 M pada surah 30. Ar Ruum ayat 3 – 4 


demikian 
Artinya : 



3. "Yaitu mereka tidak mampu mempertahankan dominasinya atas permukaan bumi ini, tapi setelah itu mereka akan memperoleh kemenangan lagi".
 

4."Dalam waktu beberapa tahun lagi, begitulah kepastian Ilmu Allah dari sebelum dan sesudah nabi Muhammad SAW, ialah peredaran hidup kedalam satu kesudahan terakhir yang akan memenangkan orang-orang yang hidup dengan Nur yakni al-qur'an menurut sunnah rasul".
 


kemenangan al-qur'an menurut sunnah rasul selesai sudah pada tahun 632 M. 

Munculnya al-qur'an menurut sunnah rasul mengakibatkan hancurnya dzulumat menurut sunnah syayathin Romawi ( blok barat ) dan sunnah syayathin Persia Baru ( blok timur).
 

Rasulullah Muhammad adalah Dzulqarnain yakni Penguasa dua kurun seperti ditegaskan didalam salah satu hadisnya.
 

Nabi Muhammad dan khulafaur rasyidin serta orang-orang yang benar-benar ber-iman, sudah pergi meninggalkan dunia dan meninggalkan warisan Iman yakni "Pandangan dan sikap hidup", 


sedang selera masa dikala itu sudah berubah kearah rangsangan Yahudi. 

Berbagai pertentangan (polarisasi internal) mulai muncul kepermukaan saling kejar-mengejar dalam rangka memenuhi rangsangan Yahudi yang sudah lama terpendam oleh tegaknya Nur menurut sunnah Rasul.
 

Muncullah Muawiyah yang diperkuat oleh Marwan bin Hakam dan Amr bin Ash memanfaatkan issue terbunuhnya Usman menjadi sentimen politik guna mengiring Bani Umayah kearah memenuhi tujuan pribadinya berhadapan dengan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah resmi yang di bai'at oleh umat islam dikala itu.
 

Pertentangan meningkat menjadi pertumpahan darah, dalam satu kesempatan perundingan dengan liciknya Amr bin Ash memperdaya Abu Musa al-as'ari dengan akibat terpecah belahnya kekuatan pendukung Ali yang sebagian memisahkan diri dan menamakan dirinya golongan Khawarij yang kelak melakukan satu rencana jahat membunuh Ali, Muawiyah dan sekaligus Amr bin Ash.
 

Ali dibunuh oleh kaum Khawarij sementara Muawiyah dan Amr lolos dari usaha pembunuhan sehingga kekuasaan mereka semakin tidak terhalangi lagi.
 

Dipihak lain golongan Khawarij terus menerus melakukan berbagai propokasi politik  memojokkan Muawiyah dengan pernyataan bahwa Muawiyah sudah tidak lagi ber-iman karena gerak hidupnya sudah tidak lagi mencerminkan perujudan al-qur'an ms rasul.
 

Dalam menghadapi propokasi ini Muawiyah secara sembunyi-sembunyi mendirikan partai Murji'ah yang kemudian mengeluarkan fatwa bahwa persoalan iman adalah persoalan hati , manusia tidak bisa mengetahui iman seseorang kecuali nanti di akhirat, inilah pertama kalinya iman = pandangan dan sikap hidup di geser secara formal menjadi iman = percaya.
 

Melalui mimbar dynasti Umayah, yang dilanjutkan oleh dynasti Abbasiyah, Saljuqiyah, dsb.
 

Akhirnya iman ialah percaya berterbangan dan menerjang sepenjuru dunia, ibarat badai padang pasir yang mengaruskan pasir yang mengamuk dan mendelta budaya selama 10 abad lamanya dan kemudian menjadi lantai dari pesta pora Naturalisme blok barat dan blok timur semenjak bangkitnya Eropa modern.
 

Dalam rangka mempertahankan diri mereka, Yahudi didalam perkampungan-perkampungan Yahudi di Eropa menghasilkan pemikir-pemikiran agung guna dipersembahkan bagi kemanusiaan dalam satu persaudaraan manusia menurutnya.
 

Pemindahan ilmu pengetahuan Yunani dan humanisme ke Eropa dilakukan oleh Yahudi sejak abad ke-8 sd abad ke-14, sehingga kepala pemerintahan Eropa yang sudah terpengaruh oleh Yahudi mengundang cendekiawan - cendekiawan Yahudi untuk menterjemahkan berbagai literatur yang berbahasa Yunani, Arab dan Yahudi kedalam bahasa latin.
 

Orang-orang Yahudi menjadi ahli-ahli yang paling terkemuka dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan sehingga tidak kurang 12 % hadiah nobel ( dalam bidang kimia, fisika, kedokteran, dll) jatuh ketangan Yahudi.
 


Perang dunia I sebagai salah satu pentas dunia hasil rancangan Yahudi berhasil membagi peta dunia menjadi blok Helenisme dan blok Sarasinisme, dimana blok Helenisme menjadi negara-negara imperialis dan blok Sarasinisme menjadi negara-negara koloninya.
 

Perang dunia II, adalah pentas yang lain yang secara kongkrit hasilnya adalah diproklamasikannya negara Israel sebagai pusat kekuatan Yahudi di dunia pada tahun 1948.
 

Sisi yang lain membagi dunia menjadi calon blok barat dan calon blok timur yang pada tingkat sekarang ini sudah semakin memperlihatkan hasilnya bagi tegaknya blok barat dan blok timur sebagai dua tanduk Yahudi yang akan di dayagunakan untuk melacak dan sekaligus menghancurkan bibit-bibit tegaknya al-qur'an menurut sunnah Rasul Muhammad kurun kedua kelak.
 

Akhirnya perlu ditegaskan bahwa, sepertihalnya kegagalan Yahudi pada abad ke-7 terhadap tegaknya al-qur'an menurut sunnah  Rasul kurun pertama, maka pada abad ke-21 kelak akan berulang menjadi kegagalan yang sama terhadap tegaknya al-qur'an menurut sunnah Rasul kurun kedua.
 


Sepertihalnya pertarungan saling menghancurkan antara blok timur dan blok barat pada abad ke-7 maka akan berulang pula pertarungan yang saling menghancurkan antara blok barat abad ke-20 lawan blok timur abad ke-20 sebagai klimaks dari permainan Yahudi dengan individualisme dan kolektivisme yang tidak lagi dapat dipercaya oleh umat manusia dapat mengantar dunia kedalam satu perdamaian yang dijanjikan.
 

Demikian pula berbagai nasionalisme yang menjanjikan kesejahteraan hidup bagi warganya, tidak dapat lagi mengulur waktu untuk mengujudkan janjinya, karena pada akhir ke-20 ini akan terjadi satu perang peradaban yang akan memusnahkan semua filsafat hidup aduk-adukan Nur dzulumat dan atau penyelewengan dzulumat menurut sunnah syayathin 

seperti ditegaskan oleh surat 21 al-anbiya ayat 96 dan 97 
demikian 
Artinya : 

96. "Sehingga apabila Ya-juj dan Ma-juj 1) sudah dikalahkan maka mereka, dari setiap satuan, akan rontok bagaikan bulu gugur dari kulitnya".
 

97. "Dan janji pasti hidup obyektif ilmiah dengan al-qur'an  menurut sunnah Rasulasul (kurun kedua) telah dekat. Maka tiba-tiba yang demikian itu menjadi pembelalakan penglihatan mereka yang berlaku negatif terhadap al- quran menurut sunnah Rasul ( sehingga mereka melemparkan pengakuannya) ; "Aduhai celaka kita! Sungguh kita adalah dalam kelengahan dari yang demikian ini. Bahkan kita adalah yang berlaku dz ms syayathin".
 


Istilah Ya-juj ialah Zionisasi Injil menurut sunnah Isa menjadi old dan naw testamen yang versi Hebrew, selanjutnya menjadi zionisasi al-qur'an menurut sunnah Rasul Muhammad menjadi serasin aduk-adukan Nur dzulumat menurut sunnah syayathin atau pola Zionisme. 


Dan istilah Ma-juj ialah Yunanisasi Injil menurut sunnah Isa menjadi od dan new testamen versi Yunani atau Idealisme Helenisasi,.....Selanjutnya secara operasional berujud menjadi blok barat lawan blok timur yang ditingkahi oleh berbagai nasionalisme.Kesemuanya merupakan ujud peradaban ciptaan Yahudi yang akan menghadapi kehancurannya / kebangkrutannya seiring tegaknya Nur menurut sunnah Rasul kurun kedua pada abad ke-21 kelak. 

Demikianlah petikan berbagai pembuktian sejarah sebagai total cara perbuatan manusia yang terus menerus dan sambung menyambung diatas prinsip yang sama oleh muka yang berlain-lainan dan dalam muka yang berbeda-beda dipermukaan bumi ini.
 

Pergeseran sejarah mengantar kita kearah satu pengertian bahwa peradaban abad ke-20 adalah peradaban Iblis yang didutai oleh Yahudi yang sebenarnya lagi akan musnah dalam rangka membuka ruang abad ke-21 sebagai abad al- qur'an menurut sunnah Rasul kurun kedua. 


Akibat permainan Yahudi yang memendam dengki terhadap ajaran Allah menurut sunnah  RasulNYA dan terus menerus berupaya untuk mematikan Nur menurut sunnah Rasul, mengakibatkan massal manusia terjerumus kedalam tingkat kesadaran berpikir yang sangat rendah sehingga tidak lagi menyadari nilai-nilai al-qur'an menurut sunnah Rasul yang demikian agung sebagai Hudan Lil Muttaqin.

Translate