#SUNNAH_RASUL
surah Al-Baqarah ;185 demikian:
Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Qurãn, (yang mempunyai tiga fungsi, yaitu) sebagai petunjuk bagi manusia serta penjelasan bagi petunjuk (Al-Qurãn) itu sendiri, dan pemilah (antara haq dan bathil) …
Melalui ayat ini kita mendapat gambaran tentang fungsi-fungsi Al-Qurãn.
Pertama, fungsi Al-Qurãn secara umum adalah sebagai petunjuk atau pedoman hidup bagi manusia.
Kedua, fungsi Al-Qurãn secara khusus adalah
(a) menjadi tafsir (keterangan) bagi dirinya sendiri, dan
(b) menjadi pemilah antara benar (haq) dan salah (bãthil).
Fungsi yang terakhir bisa juga disebut sebagai fungsi mushaddiq dari Al-Qurãn; yaitu fungsi membenarkan yang benar, menyalahkan yang salah, dan memilah yang campur-aduk.
Hal lain yang tidak boleh diabaikan dalam kaitan dengan wawasan Al-Qurãn adalah Sunnah Rasul. Khususnya, yang kita tekankan di sini adalah Sunnah Rasul yang terakhir, Nabi Muhammad, yang gambarannya terekam begitu lengkap dalam teks Al-Qurãn, buku-buku Hadits (yang shahih), dan buku-buku sejarah.
Al-Qurãn tidak akan dapat dipahami dengan baik, dan selanjutnya otomatis tidak akan bisa diterapkan sebagai pedoman hidup (hudan), bila kita tidak memahami Sunnah Rasul.
Selama ini para pakar agama hanya mengatakan bahwa Sunnah Rasul adalah
(1) perkataan (qaulun)
(2) perbuatan (fi’lun), dan
(3) toleransi atau ijin tak langsung (taqrirun) dari Rasulullah (Nabi Muhammad) atas tindakan orang lain, sehingga menjadi ukuran kebenaran tindakan itu. Ketiga aspek itu lah yang kita dapati tertulis dalam kitab-kitab Hadits.
Mereka tidak memasukkan satu unsur penting yang membentuk Sunnah Rasul, yaitu sejarah penurunan, penyebaran, dan pewujudan wahyu menjadi sebuah tatanan kehidupan.
Pada hakikatnya, yang disebut Sunnah Rasul (Nabi Muhammad) itu adalah wujud Al-Qurãn di dalam kenyataan hidup (atau yang sering dikatakan orang sebagai the living Quran).
Proses pembangunannya dimulai sejak saat Nabi Muhammad menerima wahyu yang pertama, dan berakhir setelah beliau wafat. Hal itu, yakni penurunan wahyu dari pertama sampai akhir, memang sudah diakui oleh para pakar sebagai ashrut-tasyri, alias “masa pembentukan syari’ah. Syari’ah adalah sinonim dari sunnah.
Yang harus diingat, yang disebut Sunnah Rasul itu bukanlah hanya seputar pribadi Nabi Muhammad, tapi lebih tepat digambarkan sebagai perwujudan Al-Qurãn ke dalam bentuk kehidupan bermasyarakat di Madinah, yang dipimpin oleh Nabi Muhammad.
Seperti diisyaratkan melalui surah Al-Fath ayat 29 menyatakan demikian :
"Muhammad, Rasul Allah, begitu juga orang-orang yang (seiman) bersamanya, bersikap tegas terhadap orang-orang kafir (dalam masalah hukum), seiring dengan itu mereka berkasih-sayang dengan sesama mereka (yang seiman; yang sama-sama menjaga tegaknya hukum). Kamu (pembaca Al-Quran) mengetahui (lewat informasi Al-Quran dan catatan-catatan sejarah) mereka ‘jungkir-balik’ (berusaha keras) mencari anugerah dan ridha Allah. Jejak pengabdian mereka tampak pada segala segi kehidupan (wujuh) mereka. Begitulah (pula) gambaran mereka dalam Taurat dan Injil (yang diajarkan Allah melalui Musa dan Isa).[5] (Mereka tumbuh) tak ubahnya satu tanaman (rasul) yang mengeluarkan tunasnya (umatnya); selanjutnya (tunas itu) tumbuh semakin kuat untuk berdiri tegak pada batangnya (sendiri). (Tanaman seperti itu) membuat takjub para petaninya, (dan begitu juga tumbuhnya umat rasul yang semakin kuat dan banyak menakjubkan para da’i, dan sebaliknya) membuat kesal orang-orang kafir. Kepada orang-orang beriman yang berbuat tepat (sesuai ajaran dan uswah rasul), Allah memang telah menjanjikan bahwa dari (jerih-payah) mereka (pasti menghasilkan) suatu perbaikan hidup, yakni suatu imbalan kerja yang besar luar biasa."
Ayat ini menegaskan bahwa gambaran Sunnah Rasul seutuhnya adalah kenyataan hidup yang dibangun Rasulullah bersama umat sezamannya, khususnya para sahabatnya, melalui proses da’wah. Tegasnya, bicara Sunnah Rasul bukan lah semata-mata bicara tentang diri pribadi seorang rasul, tapi tentang sebuah penataan hidup (sistem) yang dibangun sang rasul bersama para pengikutnya yang setia.
Dalam beberapa Hadits juga terbukti bahwa ketika Nabi Muhammad menyebut kata sunnahku, ia mengiringinya dengan menyebut sunnah khulafã’ur-rãsyidin (para penerusnya yang lurus).
Misalnya dalam hadist berikut :
"Aku berpesan agar kalian memelihara diri dengan (ajaran) Allah, dan (agar kalian tetap) menanggapi serta menaati (amirul-mu’minin) walau yang memerintah kalian (sebelum masa Islam adalah) seorang budak Habasyiy (Habsyi, Afrika). Sungguh, siapa pun di antara kalian yang masih hidup setelah aku (tiada), maka ia akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka, jagalah oleh kalian sunnahku, yang selanjutnya menjadi sunnah para penggantiku yang berpegang teguh pada petunjuk (Al-Qurãn) serta tetap berbuat lurus (berdasar petunjuk). Pegang teguh lah (sunnah) itu. Yakni (ibarat kalian menggigitnya) gigitlah dengan gigi-gigi geraham. Seiring dengan itu, jauhilah oleh kalian urusan-urusan baru yang diada-adakan (sesuatu yang tak ada dalam Sunnah Rasul), karena setiap yang diada-adakan itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah berarti kesesatan. [Hadits riwayat Abu Dawud dan At-Tirmidzy, dengan nilai hasan shahih]."
Ya Allah, sayangilah selalu diriku dengan Al-Qurãn, yakni jadikanlah dia sebagai imam, petunjuk dan rahmat bagi diriku. Ya Allah, ingatkanlah diriku ayat-ayatnya yang kulupakan, dan bimbinglah aku untuk mengetahui yang tidak aku ketahui (pa......hami), yakni anugerahkanlah rizki (ilmu) dari usahaku dalam membaca-nya siang dan malam, dan selanjutnya jadikanlah ia sebagai hujjah (pembela) bagi diriku, wahai Tuhan seluruh alam.
A s s a l a m u ' a l a y k u m . . . .
ahlan wa sahlan
mohon di koreksi bila ada yang salah
mohon di koreksi bila ada yang salah
mudah2n bermanfa'at
Minggu, 19 Juni 2016
SUNNAH RASUL

Langganan:
Postingan
(
Atom
)