A s s a l a m u ' a l a y k u m . . . .

ahlan wa sahlan
mohon di koreksi bila ada yang salah
mudah2n bermanfa'at

Rabu, 31 Desember 2014

KAJILAH / STUDYLAH

 Surat 096 Al 'Alaq ayat 1 – 5 :

Artinya  :
1. Kajilah / Studilah Alquran berdasarkan ajaran / isme / Ilmu-Nya ( Alquran msr ) , pembimbing kehidupan kamu, ( Dia Allah ) yang telah menciptakan segala".


2. "Dia, Allah yang telah mencipta manusia dari segumpal sel-sel darah dalam proses paduan dua sperma".

3."Nyatakan diri kamu, yakni menurut ajaran pembimbing kamu yang memiliki nilai-nilai kehidupan mulia".

4."Dia, Allah yang telah mengajarkan satu ilmu untuk dibukukan kedalam satu kitab yakni al-qur'an ms rasul-Nya".

5."Yang mengajarkan manusia tentang segala sesuatu yang tidak pernah diketahuinya".

AL-HAQQU MIRRABBIKA

Kebanyakan manusia sudah terbius oleh dalil yang mengatakan bahwa “kebenaran itu bersifat relatif”, yakni tergantung pada siapa yang mengatakan dan mempercayainya. Dengan kata lain, kebenaran itu menjadi tergantung pada kepercayaan, atau bahkan selera, sehingga nilainya menjadi subyektif (tergantung orang). Padahal, seharusnya kebenaran itu bersifat obyektif, apa adanya, sesuai dengan fakta yang telanjang (asli).
Seharusnya dalil itu difahami dengan cermat!
Relatif (Ing.: relative) adalah kata sifat. Kata bendanya adalah relasi (relation). Dalam bahasa aslinya, yang biasa kita sebut relatif itu adalah relative to, yang artinya sama dengan referring to (merujuk kepada; menghubungkan dengan).
Jadi, bila kita mengatakan bahwa “kebenaran itu relatif”, maksudnya adalah “kebenaran itu tergantung pada rujukannya atau sumbernya.” Bila sumbernya orang, maka orang itulah yang menjadi penentu. Bila sumbernya sebuah buku (yang sebenarnya juga ditulis orang), maka buku itulah yang menjadi penentu. Kita yang mendengar kata orang, atau membaca sebuah buku, boleh membenarkan (mempercayai), boleh juga tidak membenarkan (= menyalahkan). Kedua pilihan itu (membenarkan atau menyalahkan) adalah benar (= sah), karena kebenaran itu tergantung pada (subyektif/selera) kita. Titik.
Tapi, dalam kenyataan, kita tidak bisa hidup dengan hanya mengandalkan kepercayaan subyektif. Kita hidup selalu dan akan terus mengandalkan pengetahuan obyektif yang dipercayai oleh semua orang. Misalnya, kita tahu bahwa api itu panas. Pengetahuan itu dibenarkan semua orang. Kita tahu bahwa kita tidak bisa mengambang di permukaan air; karena itu kita menggunakan jembatan untuk menyeberangi sungai, dan menggunakan perahu atau kapal laut untuk mengarungi lautan. Bila perut lapar, kita pun memakan makanan yang sudah diketahui dengan pasti kelezatan rasanya,  manfaatnya untuk menghilangkan lapar dan menjaga kesehatan. Pendeknya, setiap hari kita hidup melalui pengetahuan obyektif; dalam arti ada teori dan ada bukti.
Tapi, mengapa ketika berbicara tentang kebenaran agama, kita memilih kebenaran yang bersifat subyektif, hanya mengandalkan kepercayaan masing-masing?  Bahkan, ketika kita berhadapan dengan teks Al-Qurãn, kita juga cenderung memilih pemahaman yang bersifat subyektif, sehingga lahirlah sekian banyak madzhab.
Mengapa bisa demikian?
Jawabannya adalah: karena kita terpengaruh filsafat Plato, yang mendorong manusia untuk berpikir deduktif dan mengabaikan pembuktian induktif (analitika), karena bagi Plato apa pun yang kita temukan dalam proses induktif itu —seperti dia menyebut kuda sebagai contoh— adalah semu (hanya bayangan).  Kuda bisa kita lihat ada beberapa jenis, tapi dari semua yang ada itu, tidak ada satu pun yang mewakili kuda yang sebenarnya, yang ada di alam idea. Meskipun demikian, Plato tidak bisa mengingkari bahwa kuda-kuda itu memang ada, dan bila ia butuh kuda sebagai kendaraan tentu ia akan naik kuda juga. Begitu lah contoh sikap pembual besar!
Bila pemahaman seperti di atas itu kita kaitkan dengan madzhab-madzhab dalam agama Islam, maka kita akan melihat bahwa bila seseorang penganut satu madzhab didesak untuk menyatakan keyakinannya akan kebenaran madzhabnya, jawaban yang diberikan pastilah bersifat mengambang, tidak tegas. Dia tidak berani untuk mengatakan bahwa madzhab yang dianutnya adalah yang paling benar. Akhirnya, ketika pikirannya mencapai puncak kejernihan, ia akan mengatakan, “Pada madzhab kami tentu ada juga kesalahan dan kekeliruan; dan pada madzhab lain tentu ada juga kebenaran.” Kalimat diplomatis itu ujung-ujungnya hanyalah menegaskan bahwa dia mengikuti suatu madzhab itu karena mengakui kebenaran madzhabnya berdasar seleranya belaka, bukan berdasar pembuktian ilmiah.
Dalam Al-Qurãn, Allah juga  mengajukan sebuah pernyataan deduktif bahwa kebenaran itu berasal dari Dia (al-haqqu min rabbika).[1] Dengan kata lain, Allah adalah narasumber kebenaran.
Lantas, bila Allah adalah narasumber kebenaran, di manakah gerangan letak kebenaran Allah itu?
Kita bisa dengan mudah mengatakan bahwa kebenaran Allah itu terletak pada kitabnya, yakni Al-Qurãn, karena itulah satu-satunya dokumen terpercaya tentang kehadiran Allah. Tapi, apakah itu (Al-Qurãn) saja sudah cukup untuk menegaskan kebenaran Allah? Belum!
Kebenaran Al-Qurãn (sebagai sebuah ilmu) tidak cukup dengan hanya menyebutkan narasumbernya yang bersifat mutlak, Allah. Begitu juga kebenaran Allah sebagai narasumber ilmu tidak cukup terbukti dengan hanya menyebut kitabnya yang terpercaya, Al-Qurãn. Kebenaran Allah, dan Al-Qurãn, masih harus didukung oleh sesuatu yang lain, yaitu bukti-bukti (data; fakta) dari setiap teori atau keterangannya. Bila tidak didukung fakta, berarti ajaran Allah (Al-Qurãn) itu dogmatis; padahal sebenarnya tidak.
Ketika menjelaskan Al-Qurãn sebagai ilmu, pada dasarnya kita memang sedang menegaskan bahwa Al-Qurãn itu bukan sebuah dogma, yang ayat-ayatnya hanya berisi pernyataan-pernyataan yang harus dipercayai begitu saja, tanpa harus dikritisi dan dimintai pembuktiannya.  Bila hanya sebuah dogma, Al-Qurãn tidak akan bisa menjadi petunjuk atau pedoman hidup (hudan). Sebuah dogma hanya bisa diterima oleh khayal, sementara petunjuk adalah sesuatu yang bisa diterima oleh akal (= masuk akal).
Sesuatu yang masuk akal tentu bisa diuraikan secara rinci; dan selanjutnya —bila ia merupakan sebuah gagasan untuk mewujudkan sesuatu— tentu ia bisa dilaksanakan tahap demi tahap. Begitulah keadaan Al-Qurãn sebagai sebuah ilmu yang benar.
Dengan demikian, kita bisa membuat rumusan bahwa kebenaran itu pada dasarnya mempunyai dua sisi, yaitu sisi teoritis dan sisi praktis.

[1] Surat Ali ‘Imran ayat 60, dll.

PERJALANAN SEJARAH BANGSA ISRAEL

Max I. Dimont, sejarawan Yahudi, dalam bukunya “Jews, God, and History”, menulis, “Ketika, akhirnya, pada abad XII SM, bangsa Yahudi menetap di sebuah negara yang dapat mereka sebut sebagai milik mereka sendiri, mereka memilih sejalur wilayah yang merupakan koridor bagi tentara imperium-imperium yang sedang berperang. Bangsa Yahudi haus membayar pilihan ini, terbantai di medan pertempuran, dijual sebagai budak, atau dideportasi ke negeri-negeri asing. Tapi mereka terus datang ke tempat tua tersebut, membangun jalur pemukiman kecil baru yang secara berganti-ganti disebut sebagai Kan’an, Palestina, Israel, Judah, Judea dan sekarang Israel lagi”. Sebagai seorang ilmuwan Yahudi dan juga mayoritas kaum Yahudi lainnya, Max I. Damon meyakini secara aqidah bahwa palestina adalah milik bangsa Yahudi, karena nenek moyang mereka pernah mendirikan sebuah negara disana.

Kawasan itu merupakan kawasan strategis yang menghubungkan antara Asia, Afrika dengan Eropa. Dan dengan doktrin aqidah yang demikian kental, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, bangsa Yahudi tidak mengenal putus asa untuk kembali ke Palestina.

Kaum Yahudi sekarang, secara umum, terdiri dari dua kategaori besar. Pertama, disebut bangsa Sam (Semitic), mengaku sebagai keturunan nabi Ibrahim as, lazim juga disebut bangsa Kan’an. Yang kedua adalah yang bukan Sam, seperti yang berkulit hitam dan sebagainya, bukanlah keturunan langsung dengan nabi Ibrahim as.

Nabi Ibrahim as berasal dari Ur, Irak selatan, kemudian hijrah ke Kan’an Palestina sekitar tahun 2000 SM, disitulah lahir nabi Ishaq as, kemudian berputera nabi Ya’qub as, kemudian berputera nabi Yusuf as, Kan’an ketika itu terhitung sebah desa, Al Qur’an menyebutnya baduwi (QS 12:100).

Setelah nabi Yusuf as menjadi pembesar di Mesir, nabi Yaqub as beserta seluruh keluarganya hijrah ke Mesir. Di Mesir mereka mengalami kemajuan dan perkembangan, baik dari segi jumlah orang, maupun kekayaan dan kedudukan. Setelah nabi Yusuf as meninggal dunia, kondisi sosial mereka yang semula terhormat mulai bergeser, karena mereka meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar, serta jauh dari syariat nabi Yusus as.

Kerajaan Mesir yang tadinya mereka kuasai, diambil alih kembali oleh penduduk asli Mesir dengan menghidupkan kembali Pharaoisme. Sejak itulah bangsa Yahudi mengalami nestapa, mereka diperbudak berabad-abad lamanya oleh bangsa Hykhos, nama sukun dari Asia dan kemudian oleh bangsa Mesir sendiri.

Sesuai dengan kehendak Allah swt, kemudian nabi Musa as lahir, dia keturunan bani Israel dari suku Levi, beliau diselamatkan Allah swt dari petaka Fir’aun, bahkan menjadi putra angkat sampai menginjak dewasa. Karena membunuh bangsa Mesir untuk membela orang Yahudi, nabi Musa as melarikan diri ke Madyan dan menikah dengan seorang puteri nabi Syu’aib as. Setelah selama sepuluh tahun bersama keluarga besar nabi Syu’aib as, Allah swt memerintahkannya kembali ke Mesir, sebagai seorang rasul yang diutus kepada bani Israel. Nabi Musa as pun berdakwah menyebarkan risalahnya, sampai beliau bersama sejumlah pengikutnya harus hijrah kembali ke Palestina, karena Fir’aun berkehendak membersihkan mereka dari bumi Mesir.

Didalam al Qur’an 5:21-26, perintah menuju Palestina memang datang dari Allah swt, tapi mereka enggan masuk ke Palestina meskipun dijamin kemenangan oleh Allah swt, bahkan berani berkata tidak sopan kepada nabi Musa as, maka Allah swt mengharamkan bumi Palestian selama empat puluh tahun dan mereka terlunta-lunta di padang Tiih.

Fakta sejarah menunjukkan bahwa hampir duaratus tahun bangsa Yahudi terpontang-panting dikawsan tidak bertuan (padang Tiih) dan sekitarnya, sampai nabi Daud as dan nabi Sulaiman as berhasil mendirikan kerajaan di Palestina, tahun 1040-970 SM.

Kerajaan nabi Daud as yang kemudian dilanjutkan oleh nabi Sulaiman as itu hanya utuh selama beliau masih hidup, setelah nabi Sulaiman as wafat, kerajaan itu pecah menjadi dua, Kerajaan Yahuda dan Kerajaan Israel.

Pada tahun 721 SM, kerajaan Israel ditaklukkan oleh Tiglath-Pileser III, raja Assyyira. Pada tahun 586 SM, raja Nebuchadnezzar menaklukkan kerajaan Yahuda. Seluruh bangsa Yahudi digiring ke Babylonia untuk menjadi budak. Di Babylonia itulah para pemuka Yahudi menanamkan doktrin ‘janji kembali ke kampung halaman’ kepada para pengikutnya.

Kemudian pada tahun 550 SM, hampir seluruh kawasan Palestina diintegrasikan kedalam kekuasaan Persia. Ketika Alexander the greath menguasai Palestina pada tahun 334 SM, Alexander membawa bangsa Yahudi ke Yunani, dari sini mereka kemudian menyebar ke berbagai kawasan di Eropa. Kemudian sejak tahun 160 SM diintegrasikan kedalam kekaisaran Romawi.

Pengungsian besar-besaran bangsa Yahudi terjadi lagi pada tahun 66 M sampai tahun 70 M, setelah pemberontakan mereka terhadap penguasa Romawi gagal dan Gubernur Romawi pada waktu itu, Titus membantai puluhan ribu orang Yahudi untuk memadamkan pemberontakan.

Demikianlah seterusnya sampai kedatangan Islam pertama kali dipimpin oleh Umar bin Khattab ra pada tahun 637 M, mengikuti kemenangan Khalid bin Walid terhadap Romawi Binzantium di Damascus pada tahun 635 M, Umar bin Khattab ra kemudian mewaqafkan Yerusalem dan tanah Palestina kepada umat Islam seluruh dunia.

Pada tahun 1099 M tentara salib (crusaders) berhasil menguasai Palestina dan kota Yerusalem, dengan membantai 70.000 penduduknya, laki-laki, perempuan dan anak-anak. 

Dengan ijin Allah swt, pada tahun 1187 M, pahlawan Islam, Shalahuddin Yusuf bin Ayyub mengembalikannya kembali dalam pangkuan Islam dan tetap mempertahankannya, meskipun selama lima tahun sampai 1192 M, harus berperang dengan seluruh raja-raja besar Eropa seperti Richard (Inggris), Frederick (Jerman), Leopold (Austria), Louis (Perancis), raja Sisilia, yang berusaha merebut Yerusalem kembali, tetapi mereka tidak berhasil.

Dalam naungan Islam, negeri Palestina dan kehidupan antar bangsa Yahudi, Filistin dan Arab mengalami perdamaian sampai negeri ini lepas dari naungan Islam pada tahun 1917 setelah Inggris mengalahkan bani Ustmaniyyah dalam Perang Dunia I, mandat Inggris ini dikokohkan dalam konferensi San Remo tahun 1920, dan pembela Palestina yang utama hilang bersamaan dengan runtuhnya bani Ustmaniyyah pada tahun 1924.

SEJARAH DAN KONSPIRASI YAHUDI (JAHUDISME ,ISLAMISME DAN ISME-ISMENYA)

bahwa Yahudi sebagai duta dari nilai ilmu idea Iblis pada masa Adam secara turun-temurun adalah representasi dari nilai ilmu keburukan atau kejahatan di masa kini. Dimana ajaran Yahudi adalah merupakan lawan dari nilai ilmu yang baik atau ilmu yang bernilai kebenaran yang dibawa oleh para Rasul Allah. 

Adapun kedua nilai yang baik maupun yang buruk adalah datangnya dari Allah untuk menjadi pilihan manusia. Sedangkan yang dimaksud dengan lawan, sebenarnya adalah sama dengan kawan bermain di dalam mengisi perjalanan sejarah kehidupan manusia. 
Hanya sayangnya Yahudi tidak fair di dalam menyampaikan nilai, membuat manusia tidak lagi bisa menentukan pilihan. Yaitu dengan menyembunyikan nilai yang baik, serta hanya menyajikan ilmu yang buruk dan membungkusnya dengan bungkus yang yang bagus, bagaikan tombak berbalut sutra, atau bagaikan musang berbulu ayam, sehingga menipu manusia seantero dunia. 

Dengan kelicikan inilah Yahudi berhasil membuat manusia sama sekali tidak mengenal dirinya. 
Sehingga kini, oleh karena manusia sudah tidak mengenal siapa Yahudi sebagai dedengkot kejahatan dan kerusakan di muka bumi ini, maka akibatnya hampir semua manusia tidak mengenal Yahudi sebagai lawan, bagi yang ingin mewakili ilmu kebenaran. 

Oleh karena kita tidak mengenal lawan, maka kita mudah dipermainkan oleh lawan, sebagai akibatnya kita tidak mengetahui di mana jalan menuju kebenaran, menjadikan kita tidak bisa taat kepada Tuhan, tidak bisa membedakan mana lawan, mana kawan, dan tidak tahu kerjaan. 

Lihatlah betapa banyak manusia yang berkeinginan untuk hidup taat kepada Tuhan. Hampir semua manusia ingin hidup dalam persatuan dan kesatuan, ingin hidup berkeadilan dalam kemakmuran, ingin hidup dalam kedamaian dan kesejahteraan dan sudah sedemikian rupa diupayakan, akan tetapi impian tinggal impian, hanya fatamorgana yang kita dapatkan. 

Maksud hati ingin berbuat taat kepada Tuhan, akan tetapi negasi dan pengingkaran yang kita lakukan. Persatuan dan kesatuan yang kita programkan, akan tetapi perpecahan dan permusuhan yang kita dapatkan. Keadilan dan kemakmuran yang kita canangkan, akan tetapi ketimpangan dan kemelaratan yang kita dapatkan. Kedamaian dan kesejahteraan yang kita harapkan, akan tetapi kekacauan dan kesengsaraan serta kejengkelan yang kita hasilkan. 

Inilah tombak berbalut sutra, dan inilah musang berbulu ayam, sebagai ilmu postmodern Yahudi yang telah menjerumuskan manusia ke dalam paradigma hidup yang demikian sulit dan ngawur tiada tara.

Tulisan inipun dibuat bukan dalam rangka mendiskriditkan Yahudi sebagai lawan, melainkan sekedar upaya menjelaskan. 
Adapun pilihan baik ataupun buruk, kepada anda dipersilahkan untuk menentukan. 

Di bawah ini kita rangkum bagaimana Yahudi melakonkan kehidupan yang penuh tipu muslihat dan berhasil menyusupkan idea-ideanya kepada bangsa-bangsa di dunia dari masa ke masa. 

Dimaksud dengan upaya penyusupan idea-idea adalah; Yahudi dengan idea jahatnya tidak perlu mendirikan kekuasaan, atau sebuah negara, namun cukup dengan mempengaruhi dan mengaduk-aduk ajaran yang dianut suatu bangsa dengan unsur-unsur yang memabukkan sehingga semakin sempoyonganlah suatu bangsa yang telah menghirup spora beracun yang ditebar oleh Yahudi, dan setelah itu kekacauan pasti akan terjadi. 

mari kita berkelana untuk melakukan ekspedisi ke dalam relung kedalaman sejarah 2000 tahun atau bahkan 4000 tahun ke belakang demi menyaksikan betapa Yahudi begitu konsisten di dalam menjalankan misi perusakan kejahatan sebagai tugas melanjutkan tongkat estafet Iblis hingga abad XXI ini adalah kelanjutan dan pengulangan dari abad-abad sebelumnya

maka cukuplah jika para ahli sejarah mencatat bahwa tongkat estafet kejahatan telah sampai kepada tangan Yahudi pada abad XX Sebelum Masehi , setelah sepeninggal Sunnah Ibrahim dan dilanjutkan sebagai Sunnah Yusuf (lihat Qur’an surat Yusuf : 4-101).

Perkataan Yahudi dan Israel dilihat dari sudut keturunan adalah satu suku bangsa yang berumpun pada umat Nabi Yakub (lihat Injil Kitab Keluaran 46 : 1 dst). 

Suku bangsa Israel dan Yahudi adalah yang lahir dan dibesarkan dalam udara Fir’aunisme di Mesir sepeninggal Nabi Yusuf (lihat Injil Kitab Keluaran 1 : 11-15 dan Qur’an 2 : 131-141). 

Abad ke 19 SM, tegaknya Sunnah Yusuf Yaitu satu model kehidupan indah adil makmur di Mesir, maka dipindahkanlah ayahanda Ya’kub beserta sebagian keluarga sebagian masyarakatnya ke Mesir (lihat Qur’an 12 : 4-6 dan 100, dan Injil Kitab Keluaran 46 : 5-7) sebagian keturunan dan umat Yakub yang tetap di Kan’an dan dikenal sebagai Kaum Hebrew, yang merupakan manusia merdeka. 

Sepeninggal Nabi Yusuf, Klan Bani Israel, dan Yahudi, menghancurkan ajaran Allah yang dibawa oleh Yusuf, dikarenakan rasa dengki kepada Yusuf. Akhirnya melalui perang Hykos Bani Israel dan Yahudi dijadikan tawanan dan dijadikan budak-budak di Mesir oleh Raja Ramses II, yang masih termasuk dinasti Fir’aun. 

Walaupun dalam kondisi diperbudak Yahudi berhasil menyusupkan teori ideanya hingga lahirnya teori Tauhid Ahnatun, sebagai penyelewengan iman = pandangan dan sikap hidup, menjadi iman = percaya (akulturasi proses Fir’aunisme, dan Indo Babylon atau Asyiria). 

Dibawah ayunan Yahudi. Abad ke 12 SM, tegak Sunnah Musa dari keluarga Imran Dengan persiapan iman di Mesir, kemudian penataan di Palestina, terwujud satu model kehidupan indah, adil makmur, sejahtera, tetapi bukan model Kerajaan atau Monarki, dan bukan dengan Tauhid Platonis serta membebaskan rakyat dari kemiskinan serta menghapus sistim perbudakan, sehingga ikut terbebaslah Yahudi dan Israel dari penderitaan sebagai budak di Mesir, dan kembali ke Palestina (lihat Qur’an 7 : 105, 20 : 47, 26 : 17 dan Injil Kitab Keluaran 5 dan 6). 

Sepeninggal Musa dan Harun, Yahudi dengan naluri jahatnya memutar-balikkan Taurat yang ditinggalkan oleh Musa menjadi Moses-isme oleh Musa Samiri, yaitu aduk-adukan ajaran kebenaran dan kebathilan sehingga merusak kehidupan Yahudi dan Israel itu sendiri. 

Abad 11 SM, tegak peradaban Kreta/Filistin dengan rajanya Jalud Menyerbu ke Palestina dan menghancurkan Yahudi dan Israel yang sudah babak belur akibat ulahnya sendiri (lihat Qur’an 20 : 84-85, 2 : 251). 

Abad 10-9 SM, tegak Sunnah Daud dan Sulaiman di Palestina Dengan konsep wahyu dari Allah yang bernama Zabur/Tabut, yang memulihkan kembali Taurat yang sudah diaduk-aduk oleh Yahudi menjadi Moses-isme, dan terwujudlah satu model hidup adil makmur dan sejahtera. Serta menghancurkan sistim Monarki dan menghapuskan perbudakan.Dengan demikian maka termasuk Yahudi dan Israel ikut terbebaskan dari penderitaan perbudakan oleh raja Jalud. 

Pada abad 8-7 SM Yahudi dan Israel berhasil menduduki tanah Kanaan yang berpusat di Palestina , sehingga terbelah menjadi dua; (1) Israelia dan (2) Yudea, kemudian menjadi makanan empuk dari Kerajaan Asyiria dengan rajanya Sargon II menggempur Palestina. 

Kendati Israelia hidup di bawah tekanan raja Sargon dari Asyiria Babylonia. Israelia masih sempat menyusun tiga dokumen sebagai pencampur-adukan ajaran Allah yang dibawa oleh Yusuf dan Daud serta Sulaiman menjadi Jehova atau dokumen (J), dan dokumen Elohim (E), serta dokumen Pentateh (P), pada :Abad ke 9 SM dilakukan penulisan Dokumen (J) JehovaAbad ke 8 SM dilakukan penulisan Dokumen (E) ElohimAbad ke 6 SM dilakukan penulisan Dokumen (P) Pentateuh Sedangkan Yudea yang hidup di bawah tekanan raja Yosiah pada abad ke 5 SM, Yahudi berhasil melakukan fusi dan reformasi/pengumpulan ke tiga dokumen menjadi satu, sebagai bibit dan untuk mengisi Kitab Perjanjian lama kelak. 

Tahun 597 SM Asyiria dikalahkan oleh Babylonia dengan rajanya Nebukadnezar. 
Yahudi menjadi semacam piala bergilir, dan jatuh menjadi tawanan dan dilanjutkan menjadi diperbudak kembali oleh Nebukadnezar. 

Tahun 530 SM Tegak persia lama dengan rajanya Cyrus, kemudian dilanjutkan oleh raja Cambises. Baru Yahudi dan Israel dilepaskan dari Babylonia. 

Tahun 444 SM Di bawah pimpinan Ezra dan Nehemia, seperti halnya politik raja Yosiah, dilakukan satu fusi terakhir atas ketiga dokumen (yang telah dilengkapi dengan dokumen ) sebagai kumpulan catatan menurut subjektifitas para pengaduk-adukan dari unsur Fir’aunisme, Namrudisme dan Asyiria) menjadi satu Kitab Suci Old Testamen (yang terdiri dari Kitab Kejadian – Kitab Keluaran – Kitab Imamat Rang Lewi – Kitab Bilangan – dan Kitab Ulangan yang dipopulerkan sebagai buah tangan Musa). 

Bani Israel dan Yahudi pulang kembali ke Palestina di bawah pimpinan Ezra dan Nehemia adalah golongan yang fanatik membabi buta ingin membangun suatu masyarakat Yahudi secara konsekwen menurut wahyu yang turun di Bukit Zion. Dari golongan inilah kelak lahir gerakan Zionis. 

Sebaliknya, dari sebagian Bani Israel yang sudah berhasil mengaduk dan mengadopsi alam pikir Yunani, mereka menganggap bahwa Kitab Perjanjian Lama sudah kadaluarsa, dan tidak dapat melayani masyarakat yang sudah berubah, maka Kitab Perjanjian Lama harus diterjemahkan dan ditafsirkan sesuai dengan selera masyarakat yang sudah berubah. 

Golongan ini, Yahudi dan Israel yang tidak mau kembali pulang ke Palestina, dan memilih menyebar dan menyelinap ke dalam berbagai bangsa, dan berusaha mewarnai kebudayaan serta pola pikir bangsa-bangsa yang diselusupinya. Golongan ini disebut sebagai Yahudi Diaspora. Diaspora adalah merupakan suatu bahan baku utama bagi kepastian hidup tersurat orang-orang Yahudi. Jika tidak karena Diaspora, orang-orang Yahudi sudah menjadi punah seperti bangsa-bangsa lain yang hidup dan mati di tapal batas negerinya sendiri, atau punah dengan mudah ketika dicangkokkan pada budaya-budaya bangsa lain. Diaspora tidak saja menyelamatkan orang-orang Yahudi dari kepunahan, dan bahkan menempatkannya di tengah-tengah sejarah. Dan karena Diaspora orang-orang Yahudi tidak pernah mati dalam budaya dikala budaya dan peradaban tuan rumah mati sekalipun (MAX I DIMONT). 

Dari perunutan sejarah tersebut di atas menjadi jelas bahwa fusi/pengumpulan terakhir dari ke tiga dokumen di bawah Ezra dan Nehemia sepulang dari Babylonia, menjadi Kitab Perjanjian Lama. Abad ke 5 SM Ini pula munculnya alam pikir Yunani, yang berasal dari suku bangsa Arya yang menyerbu ke pulau-pulau di teluk Agea. Yaitu munculnya teori Idealisme oleh Plato dan Naturalisme oleh Aneximandros sebagai penyelewengan Taurat menurut Sunnah Musa dan Zabur menurut Sunnah Daud/Tabut menurut Sunnah Thalut, sebagai penyelusupan idea Yahudi Diaspora. 

Dengan demikian menjadi jelas bahwa Yahudi Diaspora adalah pencuri ilmu Allah yang diaduk-aduk dengan alam pikiran Yunani. 

Munculnya Yunani pada abad ke 5 SM yang berasal dari suku bangsa Arya yang menyerbu ke pulau Agea pada jaman Nabi Musa ketika menghapuskan sistim perbudakan dan Yahudi ikut terbebaskan dari Mesir menuju Palestina, adalah pengaruh dari kebangkitan Taurat menurut Sunnah Musa, dan Zabur menurut Sunnah Daud (Tabutnya Thalut) jadi alam pikir Yunani yang berupa idealisme dan Naturalisme adalah penyelewengan Taurat menurut Sunnah Musa dan Zabur menurut Sunnah Daud/Tabut menurut Sunnah Thalut oleh Yahudi. Perkembangan kebudayaan Yunani seumumnya dan dalam bidang ilmu pengetahuan khususnya adalah mulai timbul ketika hidup di perantauan pantai Asia bagian Barat Palestina. 

Kemudian atas peristiwa penyerangan raja Darius yang mau menggempur Yunani, dimana daerah Palestina dijadikan Travel Basic, maka semua perantau Yunani melarikan diri pulang ke Yunani melalui pulau Cisilia/ujung Italia, kemudian masuk lewat Romawi. Yunani di dalam hidupnya mengikuti ajaran Yahudi dari hasil pemutar balikan ajaran Zabur ms Daud/Tabut ms Thalut yang diwariskan kepada Sulaiman, selanjutnya hasil pemutar-balikan itulah diajarkan kepada manusia seluruh dunia (Qur’an 2 : 102). Dengan demikian dapat disimpulkan Yunani sebagai siswa/murid, dan Yahudi menjadi guru besarnya. 

Tahun 400 SM Tegak Sunnah Zakaria, dalam bentuk pemancangan tiang pertama dalam proses dakwah yang sudah demikian lama, kepada generasi berikutnya yaitu Maryam Tahun 356-323 SM Muncul Persia baru, sebagai blok Timur, dengan raja Alexander the Great, dan blok Barat Imperium Romawi dengan dipimpin oleh Jendral Pompay. Tahun 667 SM Sebagai akibat dari perilaku buruk Yahudi yang gemar akan kekacauan, maka jika tidak ada yang dikacaukan, maka Yahudi membuat kacau dirinya sendiri, hingga Bani Israel dan Yahudi terpecah lagi, dan menjadi sasaran empuk untuk dijadikan jajahan Romawi. Hal demikian terjadi dikarenakan ketika mereka terpecah, sebaian mereka meminjam tangan Alexander the Great, dan sebagian yang lain meminjam tangan Jendral Pompay dari Romawi. 

Tahun 12 SM Hancurnya blok Barat dan blok Timur, yaitu perang terbuka antara Romawi yang mewakili Blok Barat dengan rajanya Jendral Pompay, melawan Persia Baru sebagai representasi blok Timur dengan rajanya Alexander the Great, menjelang tegaknya Sunnah Isa Ibnu Maryam Abad pertama Maryam Dengan sisa-sisa Sunnah Zakariya yang sudah bagaikan pohon kurma yang tidak berpucuk lagi, ingin membebaskan bangsanya dari blok Barat dan blok Timur 
Turunnya Injil menurut Sunnah Isa Ibnu Maryam yang mengujudkan satu model kehidupan indah yang sama sekali tidak sama dengan Romawi atau Persia yang berbentuk Monarki atau Kerajaan. 
Isa Al Masih juga berhasil mengangkat harkat kemanusiaan dari sistem perbudakan dan menyembuhkan penyakit dari Iri dan dengki masyarakat yang bagaikan penyakit sopak yang sangat sukar disembuhkan, dan membuat orang-orang yang buta mata hatinya menjadi terbuka dan dapat melihat serta membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. 
Isa Al Masih juga menghidupkan orang-orang yang mati jiwanya akibat stres dan tekanan hidup tiada tara. Dari itu Isa Al Masih juga dikenal sangat dekat dengan masyarakat tertindas/bawah. 

Tahun 35-40 Masehi Saul of Tarsus dibantu oleh seorang Yahudi bernama Philo mensintesa Old Testament dengan karya-karya Plato (Idealisme) menjadi agama Nasrani atau Kristiani. 

Tahun 50 Masehi Helenisme, yaitu alam pikir Yunani yang berjubah Kristenisme menjadi agama Kristen mulai dipeluk oleh orang-orang Pagan dan menjadi agama dunia. 

Tahun 58 Masehi Sisa blok Timur antara lain Jendral Ptolomus di Mesir dan Palestina dan Jendral Sulucus di sekitar Eufrat dan Tigris. Sementara Jendral Antigonus di Yunani. Dan pada tahun itu pula hancurnya Imperium Romawi di bawah raja Nero. Awal abad pertama Rabbi Jochananben Zakkai mengaduk-aduk Injil menurut Sunnah Isa dengan puntung-puntung ajaran Majusi dan Romawi menjadi Old Testament atas nama Musa dan Daud, serta New Testament atas nama Isa anak Allah (yang diolah perguruan Tinggi Jeshiva di Jabneh, sebelah utara Jerusalem). Sebagai bungkus agama Yahudi, dalam bentuk agama Kristen seperti yang kita kenal sekarang untuk dieksport ke Eropa dan kepenjuru dunia. 

Dan sejarah mencatat bahwa bangsa Belanda dan bangsa Portugis yang datang ke Indonesia pada abad ke 16 Masehi adalah merupakan bangsa yang melakukan penjajahan dan penjarahan serta merusak harkat dan martabat kemanusiaan bangsa Indonesia, sekaligus menjadi guru dan gurunya bangsa Indonesia dalam mengerti agama Kristiani yang demikian carut-marut/tidak menentu ini di Indonesia. 

Tahun 64 Masehi Saul of Tarsus atau Santo Paulus pendiri agama Nasrani dengan merek Yesus Kristus, sebagai pembawa missi Romawi Timur untuk melawan Zionisme. 

Tahun 68 Masehi Jerusalem dikepung dan dihancurkan oleh Vespasianus atau Raja Titus. 

Tahun 70 Masehi Yahudi bergentayangan di Jazirah Arab selanjutnya membantu Arab dalam menghadang masuknya Kristen. Walaupun agama Kristen tidak diperbolehkan masuk, namun paham Yahudi tetap terus merayap dan menyusup ke Arab, sehingga paham Monoteisme menjadi indikator ajaran Yahudi bagi kehidupan dan pendidikan di Arab. 

Sehingga pada abad ke IV Masehi, sepenjuru bagian Utara dan Timur Laut Arab, sudah berorientasi Helenisme, yaitu Old Testament versi Yunani, dengan dibabtisnya adik raja Imruul-Qish Tahun 324 Masehi Agama Kristen menjadi satu lembaga dalam Kerajaan Romawi yang sedang terhuyung-huyung. 

Tahun 500 Masehi Raja Heraklio mejadikan Mesir sebagai Propinsi Romawi untuk mengkristenkan Arab secara keseluruhan untuk menjadi antek Romawi. 

Tahun 525 Masehi Raja Najasi memberangkatkan Divisi Ariadh dan Abarahah, untuk mengkristenkan Arab, namun dalam perjalanannya Ariadh dibunuh oleh Abarahah, karena diketahui bermain mata dengan agen Zionisme yang bernama Dzun Nuwaas selanjutnya Abrahah berhasil meng-Kristenkan sepenjuru panyai Arab dan Yaman menjadi antek Romawi yang berorientasi Helenisme. 

Masih pada awal abad ke V Masehi, Pembangunan sekolah Perguruan Tinggi Talmudisme di Alexandreta sebagai kelanjutan dari Perguruan Tinggi Jeshifa di Jabneh sudah selesai. 

Abad ke VI Masehi Adalah tahap Misionaris ke dalam Sultanah-sultanah, sehingga golongan intelektual Arab sudah siap menjadi kolone 5 (divisi 5) untuk menghancurkan iman = Pandangan & Sikap Hidup menjadi iman = percaya (sebelum Al Qur’an turun). 

Perang terbatas antara Romawi dengan Persia Baru, sebagai representasi Blok Barat dan Timur (peristiwa Ashkabul fiil).

 
Tahun 610 – 632 Masehi (tegak Sunnah Muhammad) Dengan Al Qur’an dan Sunnah terwujud model kehidupan indah yang sama sekali tidak sama dengan model Romawi yang menganut paham Naruralisme Makro Atomisme atau Liberalisme Demokrasi, juga tidak sama dengan model Persia Baru yang menganut paham Naturalisme Mikro Atomisme tau Sosialisme Komunis, juga tidak model Kerajaan atau Monarki. 

Dengan demikian, Muhammad dengan konsep dari Allah yaitu Al Qur’an membangun sebuah pemerintahan yang sangat murni tidak mengadopsi konsep dan pemikiran dari Barat/Romawi, maupun konsep pemikiran dari Timur/Persia Baru (laa syarqiyyah walaa gharbiyyah). 
Pemerintahan Muhammad yang dicatat oleh sejarah sebagai pemerintahan yang paling bisa memenuhiharapan kemanusiaan, yaitu dapat memenuhi rasa keadilan dan kemakmuran yang dapat dirasakan oleh seluruh lapisan warga negaranya. Keadilan hidup berpolitik, ekonomi, hukum, keamanan, dan keadilan kesejahteraan dan lain-lain, yang dapat dari para pemimpinnya sampai lapisan masyarakat yang paling bawah. Apa yang dimakan oleh para pemimpinnya, itu pula yang dinikmati oleh rakyatnya. Apa yang diderita oleh para pemimpinnya, itu pula yang menjadi perjuangan rakyatnya. Sehingga Madinatul Munawarah adalah benar-benar merupakan sebuah demonstrasi kehidupan indah tiada bandingannya. Pemerintahan Madinah adalah benar-benar merupakan gambar pemerintahan Madani yang ditandai oleh kesatuan semangat hidup suatu bangsa untuk hidup patuh kepada Tuhan-nya. Dengan melalui kepatuhan terhadap Alkitab sebagai konsep pemersatu, maka terwujudlah satu model hidup orang-orang beriman yang saling menghargai,tidak ada klas di antara sesama manusia, tiada perbedaan derajad dan pangkat. Kelompok manusia yang sebelumnya menjadi komunitas kelas atas seperti halnya oleh Abubakar, Usman, Usman, dan yang lainnya diturunkan derajadnya, sedangkan komunitas masyarakat yang paling bawah derajadnya sama dengan budak belian Bilal bin Rabbah diangkat derajadnya menjadi setara dengan para Petinggi Negara. Sehingga gambaran Kemanusiaan yang adil dan beradab benar-benar menjadi kenyataan hidup orang-orang beriman yang tidak dipaksakan. 
Tidak ada sebutan “Yang Dipertuan Agung”, tidak terdapat panggilan kehormatan “Yang Mulia di sana, akan tetapi semua mendapat predikat “sahabat” atau kawan. Puluhan suku yang bergabung di dalam kelompok Anshar, dan beberapa suku yang bergabung dalam kelompok Muhajirin, menjadi satu komunitas Mu’min. Kelompok Anshar, dan kelompok Muhajirin bersama-sama kelompok dari masyarakat lainnya yang berbeda suku dan agama, seperti halnya komunitas Yahudi dan Nasrani serta Majusi, menjadi satu kesatuan masyarakat Madinah yang saling hormat menghormati, saling mendukung, menjadi sebuah simbiosis mutualis persatuan Madinah sebuah kenyataan persatuan dari berbagai suku dan agama yang tak pernah terbayangkan ratusan tahun sebelumnya. Di dalam catatan para ahli sejarah dunia juga digambarkan, di mana saat itu pula terbentuk sebuah pemerintahan dengan sistem perwakilan (Khalifah=wakil) atau Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Al Qur’an sebagai standar kebijakan dan permusyawaratan. Yang dituang ke dalam undang-undang dasar menjadi apa yang disebut Piagam Madinah saat itu. 
Dengan adanya sebuah standard book/Alkitab, maka sebuah pemerintahan dapat dikontrol oleh rakyatnya melalui standard book yang sudah disepakati bersama. 

Dengan demikian maka sejarah mencatat bahwa hanya pada periode Muhammad lah sepanjang adanya peradaban manusia dalam kurun waktu sepeninggal Isa Almasih hingga hari ini, baru bisa tercipta yang namanya Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Madinah sebagai satu negara. 

Sampai disinilah yang dimaksud oleh Allah sebuah contoh/sample/pola/model/ukura​n atau standar kehidupan indah atau kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang baik itu (lihat Qur’an 33 : 12). 

Tahun 615 – 624 Masehi Terjadi perang terbuka antara Romawi dan Persia Baru sebagai representasi dari Blok Barat dan Blok Timur, sehingga hancur dengan sendirinya. 

Tahun 632 – 660 Masehi Masih dalam kelanjutan peradaban indah yang dipraktek Muhammad, dan dilanjutkan oleh empat sahabat yaitu Abubakar Assidiq, Umar bin Khotob, Usman bin Affan serta Ali bin Abithalib. 

Tahun 661 – 750 Masehi Kebangkitan kembali sistem Feodalisme, atau Aristokrasi Arabisme, yang dibangun oleh Dinasti Mu’awiyah bin Abu Sofyan yang dibantu orang-orang Arab Yahudi Helenisme, antara lain Mansur bin Sarjun, Yosis bin Uthal, John of Damaskus/Johanna, dan istri Mu’awiyah sendiri yang memang Kristen. Sebagai indikasi bahwa Mu’awiyah melakukan praktek sistem Monarki atau Kerajaan adalah sistem suksesi. Dimana pengganti raja haruslah putra mahkota atau kekuasaan kerajaan yang bersifat turun-temurun. Dalam kekuasaan Mu’awiyah kelak dilanjutkan oleh Putra Mahkota-nya yang bernama Yazid bin Mu’awiyah hingga dijatuhkan oleh Abbasiyah di tahun 750 Masehi. Dan pada masa pemerintahan Yazid berkuasa inilah melakukan Ginoside, perburuan dan pembunuhan massal terhadap sisa-sisa Mu’min dan anak cucu Muhammad yang wanita maupun balita. Pada masa ketika Mu’awiyah masih menjabat sebagai Gubernur di Siria/Damaskus, mereka trio Mu’awiyah bin Abu Sopyan, Amr bin Ash, dan Marwan bin Hakam, adalah mahasiswa berpotensi dalam pendidikan Yahudi di Damaskus. Iabarat melakukan kuliah kerja nyata di bawah bimbingan mahaguru Yahudi, mereka mendapat nilai the best Cumlaude dalam bidang ilmu pemutar balikan ajaran Allah, yaitu suatu ajaran yang membimbing manusia dari hidup biadab menjadi beradab. Akan tetapi setelah diputar balikan oleh Yahudi menjadi ajaran Arabisme atau Sarasenisme yang menggiring manusia ke alam khayal nan utopia sehingga menjadi manusia paranoid akan tetapi tetap over confident akan jaminan mendapat surga kendati di dunia merana dan tetap menjadi santapan empuk Yahudi dari generasi ke generasi berikutnya. 

Dengan demikian menjadi jelaslah sudah pada masa Mu’awiyah berkuasa inilah masa pengeraman telor-telor Yahudi dan menetas menjadi Feodalisme, Islamisme, yang menyebar ke sepenjuru dunia dan melabrak secara bergelombang ke Indonesia menjadi pengertian yang carut-marut tentang agama Islam di Indonesia kini. Dengan membawa pengertian = kepercayaan dan Islam = agama. Ikhsan =abstraksi, serta sa’ah = rahasia yang dinanti-nanti, sebagai modal untuk memikat umat di sepenjuru permukaan bumi, untuk kemudian dimasukkan ke dalam kerangkeng dunia khayal tanpa bisa berbuat suatu apapun. 

Inilah tombak berbalut sutra atau musang berbulu ayam yang sangat membius manusia hingga takkan pernah sadarkan diri walau sudah sampai diujung tepi jurang kehancuran sekalipun. 

Dengan demikian jika dalam sejarah masuknya Islam ke Indonesia disebutkan pada abad ke VII, dan mengujud menjadi kerajaan-kerajaan Islam, dan pengertian “iman = percaya”, islam = agama, di Indonesia, maka bisa dipastikan Islam model inilah yang masuk ke Indonesia, bukan model Muhammad.

Tahun 750 – 1258 Masehi Masa kejayaan Dinasti Abbasiyah setelah berhasil menghancurkan Dinasti Mu’awiyah, yang berpusat di Bagdad, menjadi tempat tumbuh dan tempat berkembangnya pohon pengetahuan Yahudi Sarasenisme, dan atau Islamisme. 
Pada masa Abbasiyah ini “iman = percaya” sudah melanda ke sepenjuru dunia bagaikan badai di padang pasir, yang nyaris membuat Eropa kiamat, dan Yahudi di Eropa berhasil melahirkan pemikiran-pemikiran perusak nan agung untuk memimpin manusia di permukaan bumi menuju jurang kehancuran. 

Dan jika benar para ahli sejarah di Indonesia mencatat bahwa masuknya Islam ke Indonesia pada gelombang kedua adalah pada abad ke 9 Masehi bisa dipastikan Islam model inilah yang menjadi guru dan gurunya bangsa Indonesia dalam mengerti agama Islam. Sebagai model yang kedua setelah model yang pertama di abad ke 7 Masehi oleh Dinasti Mu’awiyah bin Abu Sofyan. Yang kemudian disekitar abad ke 14 Masehi barulah disusul Dinasti Osmani dari Kerajaan Turki mengirim ekspedisi perdagangan yang terdiri dari 12 orang dari berbagai negara, berbagai paham dan aliran, untuk datang ke Indonesia, yang kemudian populer dengan sebutan Walisongo sebagai guru dan gurunya bangsa Indonesia dalam mengerti tentang agama Islam sebagai gelombang ketiga. 

Abad ke 8 – 9 Masehi Pemindahan ilmu pengetahuan Yahudi Yunani tentang Demokrasi dan Humanisme Yahudi ke Eropa. Sarjana-sarjana Yahudi menjadi tamu kehormatan kepala-kepala di Eropa, serta diangkat menjadi Mahaguru di Universitas Naples dan berbagai literatur Yahudi diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, dan diperkenalkannya hitungan Arab dan konsep zero ke dalam Matematika. 

Yahudi berhasilmendudukkan masing-masing agama; Yahudi di Sinagog, Islam di Masjid, Kristen di Gereja, dan Hindu Budha di Kuil, sebagai kerangkeng agama agar tidak mengambil urusan negara, maka dibuatlah semua semua isi ajaran agama apapun menjadi satu fakultas, yaitu fakultas ilmu keakheratan, dan bukan keduniawian. 

Karl Marx adalah Yahudi yang dipuja oleh lebih satu milyar orang, dan dengan bukunya Das Kapital menjadi kitab sucinya orang-orang komunis se dunia. 
Albert Einstein adalah Yahudi yang ahli matematika, dan memelopori jaman atom serta membuka jalan naik ke bulan dengan teori fisikanya dlsb. Perang Dunia I menghasilkan peta dunia menjadi dua, yaitu Helenisme dan Sarasinisme.

AL-QURAN SEBAGAI PEDOMAN HIDUP




Bulan Ramadhan disebut Rasulullah sebagai bulan yang agung dan penuh berkah (manfaat), dan ditegaskan Allah dalam surat Al-Baqarah 185 sebagai “bulan penurunan Al-Qurãn”. 
Tentu yang dimaksud adalah penurunan sejumlah ayat Al-Qurãn untuk pertama kali, karena Al-Qurãn secara keseluruhan diturunkan dalam waktu sekitar 23 tahun, yaitu sejak turunnya 5 ayat surat Al-‘Alaq pada tanggal 17 Ramadhan, bertepatan dengan 6 Agustus tahun 610 Masehi, sampai menjelang Rasulullah wafat (12 Rabi’ul-Awwal; 8 Juni tahun 632 M). 

Menurut penegasan Allah dalam surat Al-Qadr, Al-Qurãn turun pertama kali di malam hari, dan saat penurunannya itu disebut sebagai lailatul-qadr. Sedangkan dalam surat Ad-Dukhan ayat 3 malam itu disebut sebagai lailatin mubãrakatin (bisa dibaca: laillah mubãrakah). 

Dalam surat Al-Baqarah 185 pula, ditegaskan bahwa Al-Qurãn diturunkan dengan tiga fungsi, yaitu:

Sebagai pedoman hidup bagi manusia (هدى للناس)
Penjelasan (tafsir) bagi Al-Qurãn itu sendiri (بيّنات من الهدى)
dan Pemilah antara konsep (ajaran) yang benar dan konsep yang salah (فرقان). 

Ketiga fungsi tersebut satu sama lain saling berkaitan dan tidak bisa dipisah-pisahkan. 

Al-Qurãn sebagai pedoman hidup 
Al-Qurãn diturunkan melalui seorang lelaki berhati bersih, yang sangat prihatin dengan keadaan bangsanya serta bangsa-bangsa di sekitarnya, yang hidup dalam keadaan saling bermusuhan, tindas menindas, dan cenderung memperbudak pihak yang lemah. 
Padahal, mereka mengakui sebagai bangsa-bangsa bertuhan dan beragama. 
Suku-suku Yahudi yang tinggal di Yatsrib, misalnya, jelas mengaku bertuhan Allah dan membanggakan Nabi Ibrahim dan Nabi Musa sebagai bapak moyang dan rasul-rasul yang diutus Allah kepada mereka. 
Bangsa Arab sendiri, khususnya suku Quraisy yang tinggal di Makkah, juga mengaku sebagai pelaksana agama Ibrahim dan Isma’il. Selain itu, di sekitar mereka ada bangsa Rumawi yang beragama Nasrani (Kristen), dan ada bangsa Persia yang beragama Majusi. Kebobrokan bangsa Arab, serta bangsa-bangsa di sekitarnya, membuat lelaki itu amat sangat prihatin, dan selalu gelisah, sehingga akhirnya ia sering menyepi di Goa Hira, sebuah goa yang terletak di sebuah gunung di sebelah utara, sekitar 6 km dari kota Makkah. 

Konon, lelaki ini selama beberapa tahun, selalu menyepi di goa tersebut sepanjang bulan Ramadhan. 
Sampai akhirnya, suatu malam, ia dibangunkan oleh Malaikat Jibril yang kemudian mengajarkan Al-Qurãn. Lelaki itu, Nabi Muhammad saw, akhirnya merasa lega dan gembira, karena konsep hidup yang dirindukannya itu telah diajarkan kepadanya oleh Allah, pencipta manusia dan alam semesta. 

Al-Qurãn sebagai pedoman hidup dari Allah digambarkan oleh beliau dengan kata-kata sebagai berikut: …Keunggulan Kalãmullãh (Al-Qurãn) dibandingkan seluruh kalam (kitab-kitab; buku-buku karangan manusia) adalah seperti keunggulan Allah dibandingkan dengan seluruh makhlukNya. (Hadis riwayat Tirmidzi).[1] 

Selain itu, kata beliau pula: Telah diberikan (diajarkan) kepadaku As-Sab’u Thuwal (tujuh surat panjang) sebagai pengganti Taurat, dan Al-Mi’în (surat-surat 100 ayat) sebagai pengganti Zabur, dan Al-Matsãnî (surat-surat yang mengandung perulangan tema) sebagai pengganti Injil, dan aku diberi tambahan dengan Al-Mufasshal (penjelasan, uraian yang mengingatkan tentang sorga dan neraka). (Hadis riwayat Ahmad).[2]

 Melalui Hadis ini kita mendapat informasi yang sangat berharga; yang mene-gaskah bahwa sebelum menurunkan Al-Qurãn kepada Nabi Muhammad, Allah pernah menurunkan kitab Taurat kepada Nabi Musa, kitab Zabur kepada Nabi Daud, dan kitab Injil kepada Nabi Isa, sebagai pedoman hidup. 

Tapi bangsa Yahudi telah melakukan taktum[3] (menggelapkan) atau yuharrifuna[4] (memutar balik; mengacaukan) kitab-kitab tersebut. Kitab-kitab Taurat dan Zabur mereka ‘sulap’ menjadi kitab Perjanjian Lama, dan kitab Injil dijadikan kitab Perjanjian Baru. 

Yang disebut kitab Perjanjian Lama itu sebenarnya bukan sebuah kitab (buku) tapi mencakup 45 buku; dan Perjanjian Baru mencakup 27 buku.[5] Mungkin karena itulah – antara lain – bangsa Yahudi dijuluki sebagai ahlul-kitãb, jawara alias jagoan menulis kitab; yang dengan kitab-kitab itu mereka melenyapkan atau mengaburkan kitab-kitab Allah. 

Jadi, melalui Al-Qurãn, Allah memunculkan kembali kitab-kitabNya yang sudah dihilangkan Yahudi, dalam kemasan atau susunan yang baru. 
Kitab ini, Al-Qurãn, ditegaskan oleh Allah sebagai petunjuk atau pedoman hidup bagi seluruh manusia, bukan hanya untuk bangsa Arab. 
Al-Qurãn menafsirkan diri sendiri Ada sebuah hadis atau perkataan ulama yang berbunyi begini:

 “Sebenarnya bagian-bagian (surat, ayat) Al-Qurãn itu satu sama lain saling menafsirkan.”[6] 

Pernyataan ini agaknya hendak menegaskan pernyataan Allah sendiri dalam surat An-Nur ayat 1, 
bahwa Al-Qurãn berisi ayat-ayat yang saling menafsirkan (men-jelaskan). 
Pembuktian dari pernyataan itu tentu tidak akan kita ketahui bila kita tidak membacanya dalam bahasa aslinya dalam keadaan kita memahami kata demi kata. 
Membaca sambil memahaminya kata demi kata pun belum cukup, bila kita belum melakukannya secara sungguh-sungguh dan berulang-ulang, sambil memper-hatikan penggunaan kata-kata, susunan ayat-ayat, hubungan satu tema dengan tema-tema lain, juga kaitan antara satu surat dengan surat-surat yang lain. 

Al-Qurãn adalah ibarat jutaan helai benang warna-warni yang ditenun menjadi sehelai kain yang indah. Tepatnya, ‘jutaan helai benang’ itu adalah informasi-informasi yang disusun Allah sedemikian rupa, membentuk sebuah konsep (gagasan) yang utuh dan menarik. 

Anda mungkin memiliki dan mengagumi sehelai kain yang dihiasi lukisan batik karya Amri Yahya. Coba bayangkan, apa yang terjadi bila helai demi helai benang dari kain itu dicabuti...? 
Lukisannya yang indah akan lenyap, dan benang-benangnya akan beterbangan, atau menyatu jadi segulung benang kusut. 

Begitu juga halnya Al-Qurãn, bila informasi-informasinya ‘dicabuti’ secara sembarangan, lalu ditebarkan secara acak. Keutuhan dan keindahannya pasti lenyap. 

Karena itulah, Allah berpesan wanti-wanti agar kita jangan memperlakukan wahyunya seperti seo-rang wanita penenun mengacak-acak sendiri hasil karyanya:

 …Janganlah kalian berlaku seperti seorang wanita (penenun) yang mengacak-acak benang yang semula telah disusunnya menjadi tenunan yang kuat …(An-Nahl ayat 92). 

Al-Qurãn memilah benar dan salah ,Untuk memilah mana yang benar dan mana yang salah, Allah memberikan gambaran demikian: 

Tantanglah (Muhammad), “Siapa di antara konco-konco kalian yang meng-arahkan kalian kepada kebenaran?” Tegaskan (kepada mereka), “Hanya Allah yang mebimbing kepada kebenaran. Dia yang membimbing pada kebenarankah, atau orang yang hanya dapat petunjuk karena diberi petunjuk – yang lebih berhak diikuti? Ada apa dengan kalian? Bagaimana cara kalian menimbang? (Yunus ayat 35). 

Melalui ayat ini Allah menegaskan kepada setiap manusia yang merasa berakal sehat bahwa sumber kebenaran itu adalah Allah sendiri; sedangkan manusia hanya mengetahui kebenaran bila diberi tahu oleh Allah, melalui penurunan wahyu. 
Karena itulah, wahyu Allah harus dijadikan tolok ukur untuk memilah (membedakan dan memisahkan) mana yang benar dan mana yang salah. 

Lebih jauh, bila kita sudah mendalami Al-Qurãn, kita akan merasakan sendiri bagaimana cara Allah membimbing kita untuk benar-benar melakukan pemilahan tersebut. 
Cara Allah membimging itu bukan hanya logis (masuk akal), tapi juga sangat menyentuh perasaan, sehingga manusia yang berhati batu pun – bila mampu memahami – pastilah bakal menjatuhkan diri di tanah, untuk bersujud sambil mena-ngis! 

Shalat sebagai sarana Qurãnisasi 
Tahukah anda bahwa Allah dan malaikat juga melakukan ‘shalat’ terhadap Nabi dan orang-orang beriman? Perhatikanlah ayat di bawah ini! إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا(56)

 Sesungguhnya Allah, melalui malaikatNya, bershalat kepada Nabi (Muhammad). Wahai orang-orang beriman, bershalat lah kalian kepadanya (Nabi Muham-mad), yakni pasrahkanlah diri kalian (kepada Allah) sepasrah-pasrahnya.

 Ayat ini benar-benar menegaskan kepada kita bahwa Allah dan malaikat sama-sama melakukan shalat terhadap Nabi Muhammad dan orang-orang beriman, namun bukan shalat dalam arti shalat seperti yang kita lakukan setiap hari. 
Pada ayat ini ada kata yushallûna dan shallû, yang berpangkal pada kata kerja shallã. Masdar (akar kata; kata benda bentukan) dari shallã adalah shalat(an), dan jamaknya adalah shalawãt. 

Apa arti shalat...? 

Dalam sebuah Hadis, Rasulullah menyatakan: ash-shalatu hiyad-du’ã’ (shalat itu – pada hakikatnya – adalah doa).

Lantas, apa arti doa...? 

Doa bisa berarti permintaan, permohonan; harapan; cita-cita; obsesi, dan bisa juga berarti ajakan, himbauan, dan sebagainya (= da’wah). 

Dengan demikian, jelaslah bahwa shalat (atau jamaknya shalawat) dalam ayat di atas bukanlah shalat dalam pengertian ‘ibadah ritual’ yang biasa kita lakukan. 
Shalat dalam ayat tersebut adalah “shalat dalam arti umum”, karena mencakup Allah, malaikat, Nabi, dan orang-orang beriman. 

Melalui ayat ini, kita menadapat informasi bahwa Allah ‘menitipkan’ harap-anNya kepada orang-orang beriman, melalui malaikat Jibril, agar orang-orang beriman itu benar-benar pasrah terhadapNya, dengan cara meneladani Nabi Muham-mad saw. 

Bentuk konkret (nyata) dan utuh dari harapan Allah itu adalah Al-Qurãn itu sendiri. Jadi, dengan menyambut Al-Qurãn, berarti kita menyambut harapan Allah. 
Dan – ternyata! – cara menyambut Al-Qurãn yang terbaik adalah dengan melakukan shalat ritual. 

Bagaimana penjelasannya....? 

Dalam shalat ritual, apakah ia disebut shalat fardhu atau sunnah, yang menjadi bacaan pokoknya adalah Al-Qurãn, terutama surat Al-Fãtihah, yang merupakan induk atau pokok Al-Qurãn (ummul-qurãn; ummul-kitãb). Setelah membaca surat Al-Fãtihah, kita pun membaca surat-surat lain yang kita hafal. 
Sebuah Hadis menegaskan agar kita shalat dengan mengikuti cara Rasulullah saw.[7] 

Bagaimana cara Rasulullah shalat...? 

Sebuah Hadis menyebutkan bahwa kaki beliau sering menjadi bengkak karena shalat. 

Mengapa.....? 

Mungkin hal itu terjadi – menurut Hadis yang lain, karena beliau sering berdiri lama berdiri dalam shalat. Seberapa lama? Sebuah Hadis lain menyebutkan bahwa suatu ketika beliau membaca – setelah Al-Fãtihah – surat Al-Baqarah, Ali ‘Imran, An-Nisa, Al-Ma’dah, dan Al-An’am (seluruhnya 947 ayat!) dalam satu raka’at. Hal itu dilakukan beliau dalam shalat malam di bulan Ramadhan. 

Karena itulah – mungkin – Rasulullah tidak pernah memimpin shalat malam di masjid, karena umatnya tidak akan sanggup mengikuti. 

Tapi, meskipun kita tidak akan bisa  berbuat seperti Rasulullah itu, apa yang dilakukan Rasulullah itu jelas mengandung pesan agar kita – dalam shalat-shalat kita – tidak membaca surat-surat pendek melulu seumur hidup. 
Kita harus berusaha agar banyak surat – bila tidak seluruh surat – dalam Al-Qurãn sempat kita baca dalam shalat. Itulah pembuktian bahwa kita mengakui bahwa Al-Qurãn sebagai kitab yang paling unggul dibandingkan kitab-kitab karangan manusia. Dan dengan cara demikian itulah kita – sebenarnya – berusaha melakukan Qurãnisasi kesadaran. Yaitu memben-tuk kesadaran dengan Al-Qurãn. 
Itulah yang pasti menjamin kita menjadi manusia-manusia bermutu menurut Allah. 

Semoga kita termasuk manusia demikian. Ãmîn, ya Rabbal ãlamîn.....! 



 [1] … فَضْلُ كَلاَمِ اللهِ عَلَى سَائِرِ الْكَلاَمِ كَفَضْلِ اللهِ عَلَى خَلْقِهِ. [2] حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ أَبُو دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ قَالَ أَخْبَرَنَا عِمْرَانُ الْقَطَّانُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ الْهُذَلِيِّ عَنْ وَاثِلَةَ بْنِ الْأَسْقَعِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أُعْطِيتُ مَكَانَ التَّوْرَاةِ السَّبْعَ الطُّوَلَ وَأُعْطِيتُ مَكَانَ الزَّبُورِ الْمَئِينَ وَأُعْطِيتُ مَكَانَ الْإِنْجِيلِ الْمَثَانِيَ وَفُضِّلْتُ بِالْمُفَصَّلِ. [3] Surat Al-Baqarah ayat 42: وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ(42) [4] Surat An-Nisa ayat 46: مِنَ الَّذِينَ هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَيَقُولُونَ سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَاسْمَعْ غَيْرَ مُسْمَعٍ وَرَاعِنَا لَيًّا بِأَلْسِنَتِهِمْ وَطَعْنًا فِي الدِّينِ وَلَوْ أَنَّهُمْ قَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَاسْمَعْ وَانْظُرْنَا لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَقْوَمَ وَلَكِنْ لَعَنَهُمُ اللَّهُ بِكُفْرِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُونَ إِلَّا قَلِيلًا (46) [5] Awal Persahabatan dengan Kitab Suci, hal. 9, cetakan pertama, Kanisius, 1995. [6] إن القرءات يفسّر بعضه بعضا. [7] Kata Hadis: shallû kamã ra-aitumuniî ushallî (shalatlah kalian sebagaimana kalian menyaksikan aku shalat)

Translate